Senin, 29 Maret 2010

Antara Optimisme dan Kecemasan Implementasi Netralisasi PPN Syariah

Presiden Direktur Karim Business Consulting
Adiwarman Azwar Karim



Implementasi netralisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi murabahah diyakini berdampak positif bagi perkembangan industri perbankan syariah. Sebab, netralisasi memungkinkan industri tak lagi mendapat 'ganjalan' atas penerapan kewajiban yang tak lebih bersifat sebagai pajak ganda (double tax).

Meski demikian, penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah tak serta merta langsung menghilangkan ganjalan yang dirasakan industri. Aturan Undang-Undang PPN dan PPn BM yang mengatur masalah tersebut, hanya mencakup netralisasi pajak per 1 April 2010 dan seterusnya.

Dengan demikian, artinya industri masih harus menyelesaikan kewajiban pajak sebelum UU tersebut diberlakukan. Terlebih sebelum netralisasi diberlakukan, mengutip data Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, jumlah tunggakan PPN Syariah mencapai Rp400 miliar.

Terkait itu, Seputar Indonesia mewawancarai Presiden Direktur Karim Business Consulting Adiwarman Azwar Karim, seorang pakar dan analis ekonomi syariah. Berikut petikan wawancaranya.

Pekan ini, transaksi murabahah dalam industri perbankan syariah akan dinetralisasikan kewajiban PPN-nya sehingga posisinya sama dengan industri perbankan konvensional. Bagaimana tanggapan Anda?

Ini tentu satu hal yang patut disyukuri karena menandai langkah maju pemerintah yang berdampak positif dalam mendorong pengembangan perbankan syariah ke depan. Ini membuat industri bisa tenang kembali, memiliki kepastian dan kenyamanan dalam berusaha. Sebab kita tahu, industri juga sudah mengharap-harapkannya sejak lama.

Indikasi positif dari penerapan kebijakan netralisasi PPN ini adalah banyaknya pendirian bank-bank umum syariah baik melalui akuisisi maupun spin off berbarengan dengan diberlakukannya netralisasi PPN atas transaksi murabahah di sektor perbankan syariah. Ini bukan suatu kebetulan, tapi merupakan peluang yang sengaja dimanfaatkan kalangan investor dalam menyasar pasar perbankan syariah.

Kita ketahui, ada beberapa bank yang siap beroperasi berbarengan dengan penerapan kebijakan tersebut. Sebut misalnya PT Bank Victori Syariah yang siap beroperasi 1 April, PT BCA Syariah pada 7 April. Beberapa lagi segera beroperasi seperti PT BNI Syariah.

Jadi bagaimana dampak jangka pendek maupun panjangnya bagi perkembangan industri perbankan syariah domestik?
Dalam jangka pendek, tentu ini akan memberikan kepastian dan kenyamanan bagi industri perbankan syariah. Sebab dengan begitu, industri tidak dikuatirkan lagi dengan ganjalan pemberlakuan kewajiban perpajakan yang dianggap tidak seharusnya.

Pada jangka menengah, jumlah bank umum syariah (BUS) akan terus bertambah banyak dari saat ini. Seperti sudah saya sebutkan, berbarengan dengan penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah, jumlah BUS yang siap beroperasi saja sudah ada dua sampai tiga BUS mulai dari PT Bank Victoria Syariah, PT BCA Syariah, dan PT BNI Syariah.

Sekali lagi, operasionalisasi BUS-BUS ini bukan semata-mata kebetulan berbarengan. Tapi ini merupakan reaksi atas diterapkannya netralisasi kewajiban perpajakan yang tak seharusnya.

Unit-unit syariah (UUS) dari bank-bank konvensional juga akan semakin yakin dan percaya diri dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Ini artinya, netralisasi PPN atas transaksi murabahah mendorong perkembangan bisnis perbankan syariah, baik organik maupun anorganik. Pada akhirnya, ini melahirkan dampak jangka panjang, pelebaran pangsa pasar keuangan dan perbankan syariah dalam negeri.

Lalu seberapa dalam ini akan mendorong rasio pertumbuhan perbankan syariah sendiri?

Saya belum mengetahui itu. Tapi tentunya, ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi pertumbuhan industri perbankan syariah. Sebab, sekali lagi saya katakan, ini mendorong mereka lebih berani dalam melakukan ekspansi pembiayaan.

Selama ini, industri perbankan syariah terkesan masih ragu-ragu dalam melakukan ekspansi pembiayaan. Salahsatu sebabnya adalah keberadaan ketentuan PPN atas transaksi murabahah yang merupakan mayoritas produk jasa keuangan perbankan syariah.

Apakah ini sudah bisa menjadi insentif?

Belum. Ini sama sekali belum menjadi insentif. Penerapan pembebasan PPN atas transaksi murabahah baru merupakan equalisasi antara platform perbankan syariah dan perbankan konvensional.

Bila ingin disebut sebagai insentif, mungkin pemerintah bisa merealisasikannya dalam bentuk lain. Kalau ini, masih merupakan netralisasi atau equalisasi antara perbankan syariah dan konvensional.

Bila kita komparasikan dengan upaya pemerintah Malaysia, sudah sampai manakah posisi Indonesia dalam mendorong pengembangan industri perbankan syariahnya?

Kita masih jauh dibanding upaya yang telah ditempuh Pemerintah Malaysia dalam mendorong pengembangan perbankan syariahnya. Jujur saja, kita masih ketinggalan beberapa langkah dari Malaysia.

Kalau saya ibaratkan, kita baru menapak pada satu langkah yang telah dilakukan Pemerintah Malaysia dalam mendorong perkembangan perbankan syariahnya. Padahal, kalau tidak salah, Pemerintah Malaysia telah merealisasikan enam kebijakan dukungan pengembangan perbankan syariah domestik. Jadi masih ada lima langkah Malaysia yang belum kita tempuh.

Satu langkah yang sudah pemerintah lakukan adalah netralisasi pajak. Equalisasi kebijakan perpajakan antara bank syariah dan bank konvensional. Tapi itu sudah cukup lama dilakukan mereka.

Beberapa langkah lain seperti tax holiday pada realisasi investasi pendirian bank-bank umum syariah atau pun unit usaha syariah, sudah dilakukan Malaysia. Kemudahan merger, juga akuisisi untuk pendirian bank syariah juga sudah mereka lakukan.

Ini mungkin hal-hal yang harus pemerintah pikirkan bila ingin mendorong pengembangan industri perbankan syariah dalam negeri. Harus ada niat dan komitmen serius dari berbagai pihak untuk mendorong pengembangan bank syariah ini.

Hal yang masih dipikirkan para pelaku industri perbankan syariah menjelang penerapan aturan netralisasi PPN atas transaksi murabahah April besok adalah kewajiban PPN Murabahah sebelum aturan diberlakukan. Apalagi kabarnya tunggakannya sampai Rp400 miliar. Apa penilaian Anda?

Hal yang harus jadi catatan, sulit bagi kita untuk menyalahkan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan terkait penerapan PPN murabahah ini. Sebab, mereka pun melakukannya berdasarkan dasar dan ketentuan perundang-undangan yang jelas.

Aturan tersebut termuat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), dimana dalam PBI ini, transaksi murabahah didefinisikan sebagai jual beli yang menjadi objek pajak. Aturan kedua termuat pada Pedoman Akuntansi Syariah (PAS), dimana transaksi murabahah jadi bagian dari objek pajak.

Sebelum tahun 2003, atau sebelum adanya kedua ketentuan ini, hampir tidak ada perdebatan terkait kewajiban PPN atas transaksi murabahah. Baru setelah ada kedua aturan tersebut, yang diterbitkan sekitar Maret 2003, muncul perdebatan soal PPN atas transaksi murabahah.

Karena demikian aturannya, maka mereka tentu saja mau tidak mau tetap harus masuk, menagih kewajiban perpajakan PPN atas transaksi murabahah. Meski sebetulnya, Direktorat Jenderal Pajak juga memahami bahwa ini bukan merupakan objek pajak karena substansinya sama dengan transaksi pada perbankan konvensional.

Tapi, sekali lagi, karena aturannya mengatakan demikian, Direktorat Jenderal Pajak tetap akan menagih kewajiban tersebut. Mereka akan merujuk pada UU tersebut dan tak akan berhenti sampai ini (UU) diubah.

Tapi, diakui atau tidak, kisruh ini sudah menjadi akar kegelisahan industri di tengah optimisme penerapan netralisasi PPN. Apa jalan tengah yang bisa dilakukan pemerintah?
Mungkin perlu diselesaikan tidak dalam level Direktorat Jenderal Pajak dan bank-bank syariah, harus ada penyelesaian di tingkat lebih tinggi, misalnya Presiden. Paling tidak, Menteri Perekonomian.

Bila masalah ini diselesaikan Presiden, saya kira jalan ceritanya akan lain. Sebab kita tahu, presiden memiliki kewenangan cukup luas dalam mengatasi persoalan ini.

Kalau yang digunakan adalah cara-cara standar saja, BUS dan UUS mungkin harus bersabar. Karena, tentunya, persoalan ini akan diselesaikan satu-satu melalui pengadilan pajak sehingga membutuhkan waktu penyelesaian yang tidak sebentar. (Zaenal Muttaqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar