Selasa, 30 Maret 2010

Menjajal Pasar Global

MESKI masih belum cukup diperhitungkan di jajaran pemain industri keuangan dan perbankan syariah global, namun bukan berarti menghalangi sejumlah pemain domestic menyasar berbagai pasar di luar negeri. Meski variasi produk yang ditawarkannya juga terbatas, namun langkah ini layak untuk diapresiasi.
Sebut misalnya, Bank Muamalat Indonesia (BMI). Setelah sukses mengawali ekspansi di negeri jiran Malaysia di tahun 2009, tahun ini BMI siap mengembangkan sayap bisnisnya ke Hong Kong dan Saudi Arabia. Treasury & International Banking Director BMI Farouk Abdullah Alwyni mengatakan pihaknya telah mempersiapkan pengembangan bisnis tersebut.
Berdasar hitung-hitungan bisnis penerimaan deposito, jelas dia, potensi pasar kedua negara sangat besar. Selain masyarakat setempat, banyak warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di kedua negara tersebut. Tentunya, warga negara kita ini membutuhkan fasilitas untuk mengirimkan pendapatannya ke dalam negeri (remittance). Ceruk inilah yang ingin digarap BMI.
Potensi yang cukup besar, contoh Farouk, terlihat dari pasar Malaysia. Diketahui, di negara ini, ribuan warganegara Indonesia tinggal dan bekerja di negeri ini. Meski baru didirikan, namun cabang di BMI di Malaysia cukup berhasil meraup dana-dana masyarakat. Tahun 2009, BMI berhasil menarik deposito dalam mata uang dolar AS sekitar USD30 juta.
Begitu juga pasar di Saudi Arabia. Sama seperti Hong Kong, ribuan warga negara Indonesia tinggal dan bekerja di negara bagian dari kawasan Timur Tengah ini. menyasar mereka, jelasnya, BMI menggandeng bank terbesar negara tersebut yakni National Commercial Bank dengan menawarkan produk remitensi.
Farouk mengakui, varian produk yang ditawarkan belum selengkap seperti yang ditawarkan para pemain industri keuangan dan perbankan syariah dari negara-negara lain seperti Malaysia. Namun seiring perkembangan ke depan, lanjutnya, para pemain lokal juga diharap sudah bisa menawarkan produk yang cukup beragam untuk bisa diakses nasabah.
Lebih daripada sekedar bisnis seperti demikian, lanjut Farouk. Upaya BMI menyasar pasar global dilakukan untuk kepentingan bisnis jangka panjang dimana para pemodal sektor industry keuangan dan perbankan syariah global maupun konvensional bisa menjajdikan industry keuangan dan perbankan syariah lokal sebagai mitra dalam merealisasikan bisnis seperti pembiayaan proyek-proyek besar melalui program sindikasi.
Untuk itulah, lanjut Farouk, tidak hanya mendirikan jejaring kantor cabang operasional di berbagai negara, namun pihaknya juga menjajal kerjasama dengan berbagai lembaga keuangan global. Sebut misalnya Bank Pembangunan Asia (ADB), BMI akan segera merealisasikan kerjasama pembiayaan perdagangan (trade financing). Dengan kerjasama tersebut kita bisa membuka letter of credit lebih luas dan juga dalam rangka pengembangan islamic money market.
Pada November 2009 lalu, BMI menandatangani kerjasama dengan ADB yang menyiapkan dana USD700 juta terkait Program Fasilitasi Pembiayaan Perdagangan (Trade Finance Facilitation Program/TFFP) untuk bank-bank di Indonesia yang bekerja sama dengan ADB. Selain BMI, ADB menjalin kerjasama juga dengan Bank Mandiri.
Selain ADB, BMI juga tengah mempersiapkan kerjasama dengan anak usaha Bank Dunia International Finance Corporation (IFC), Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) dan Islamic Corporation for Insurance of Investments and Export Credits (ICIEC).
Sama seperti BMI, upaya menjajal pasar keuangan perbankan syariah global juga sudah dilakukan PT BNI 46 Syariah. Menurut Kepala Divisi BNI Syariah Rizqullah, seperti disampaikan oleh Planning & Development Group Head BNI Syariah Wahyu Avianto, BNI Syariah ini mengembangkan sayap usahanya dengan membuka kantor cabang BNI Syariah di Hongkong dan Singapura dan outlet-outlet di kantor perwakilan Jeddah, Abu Dhabi, dan Qatar di Timur Tengah. Sasaran utamanya juga adalah warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di kedua negara tersebut.
Di masing-masing wilayah kerja ini, BNI Syariah menawarkan varian produk tabungan syariah yang menghimpun dana pihak ketiga (DPK) tenaga kerja atau warga negara Indonesia yang tinggal di masing-masing negara. Tak hanya itu, rencananya BNI Syariah juga bakal menyasar Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Syariah para tenaga kerja di Indonesia. Dengan layanan tersebut, warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal atau bekerja di Hongkong dapat memiliki rumah di Indonesia secara mencicil tanpa harus pulang terlebih dahulu.
Menurut Rizqullah, pihaknya masih belum berencana melakukan penambahan cabang atau outlet di selain beberapa negara yang sudah dibidik. Menurutnya, pihaknya masih akan melakukan optimalisasi pasar yang sudah ada. Dari sisi kontribusi penerimaan bisnis, diharapkan masing-masing kantor cabang dan outlet BNI syariah bisa tumbuh dua kali lipat dari rata-rata penerimaan deposito masing-masing Rp6 miliar.
Pengamat Perbankan Syariah Ismy Kushartanto mengakui, potensi pasar luar negeri masih cukup besar untuk bisa disasar industri keuangan dan perbankan syariah lokal. Selain remiten, jual beli valuta asing, pembiayaan perdagangan, potensi pembiayaan properti bagi warga negara Indonesia yang lama tinggal dan bekerja di luar negeri juga sangat besar.
Untuk itu, sambungnya, ada baiknya para pemain industry keuangan dan perbankan syariah lokal juga mulai melirik pasar-pasar global. Meski harus berkompetisi dengan perbankan syariah asal negara lain, namun pasar perbankan syariah Indonesia cukup segmented yaitu para tenaga kerja maupun warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di negara-negara tersebut.
Inisiatif sejumlah pelaku industry keungan dan perbankan syariah menjajal pasar global selayaknya diacungi jempol. Selain mendorong penerimaan bisnis, upaya ini juga bisa mendorong mereka ‘belajar’ meningkatkan kualitas dan terbiasa berkompetisi dengan para pemain industry keuangan syariah di pasar global yang lebih luas. (Zaenal Muttaqin)

Senin, 29 Maret 2010

Antara Optimisme dan Kecemasan Implementasi Netralisasi PPN Syariah

Presiden Direktur Karim Business Consulting
Adiwarman Azwar Karim



Implementasi netralisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi murabahah diyakini berdampak positif bagi perkembangan industri perbankan syariah. Sebab, netralisasi memungkinkan industri tak lagi mendapat 'ganjalan' atas penerapan kewajiban yang tak lebih bersifat sebagai pajak ganda (double tax).

Meski demikian, penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah tak serta merta langsung menghilangkan ganjalan yang dirasakan industri. Aturan Undang-Undang PPN dan PPn BM yang mengatur masalah tersebut, hanya mencakup netralisasi pajak per 1 April 2010 dan seterusnya.

Dengan demikian, artinya industri masih harus menyelesaikan kewajiban pajak sebelum UU tersebut diberlakukan. Terlebih sebelum netralisasi diberlakukan, mengutip data Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, jumlah tunggakan PPN Syariah mencapai Rp400 miliar.

Terkait itu, Seputar Indonesia mewawancarai Presiden Direktur Karim Business Consulting Adiwarman Azwar Karim, seorang pakar dan analis ekonomi syariah. Berikut petikan wawancaranya.

Pekan ini, transaksi murabahah dalam industri perbankan syariah akan dinetralisasikan kewajiban PPN-nya sehingga posisinya sama dengan industri perbankan konvensional. Bagaimana tanggapan Anda?

Ini tentu satu hal yang patut disyukuri karena menandai langkah maju pemerintah yang berdampak positif dalam mendorong pengembangan perbankan syariah ke depan. Ini membuat industri bisa tenang kembali, memiliki kepastian dan kenyamanan dalam berusaha. Sebab kita tahu, industri juga sudah mengharap-harapkannya sejak lama.

Indikasi positif dari penerapan kebijakan netralisasi PPN ini adalah banyaknya pendirian bank-bank umum syariah baik melalui akuisisi maupun spin off berbarengan dengan diberlakukannya netralisasi PPN atas transaksi murabahah di sektor perbankan syariah. Ini bukan suatu kebetulan, tapi merupakan peluang yang sengaja dimanfaatkan kalangan investor dalam menyasar pasar perbankan syariah.

Kita ketahui, ada beberapa bank yang siap beroperasi berbarengan dengan penerapan kebijakan tersebut. Sebut misalnya PT Bank Victori Syariah yang siap beroperasi 1 April, PT BCA Syariah pada 7 April. Beberapa lagi segera beroperasi seperti PT BNI Syariah.

Jadi bagaimana dampak jangka pendek maupun panjangnya bagi perkembangan industri perbankan syariah domestik?
Dalam jangka pendek, tentu ini akan memberikan kepastian dan kenyamanan bagi industri perbankan syariah. Sebab dengan begitu, industri tidak dikuatirkan lagi dengan ganjalan pemberlakuan kewajiban perpajakan yang dianggap tidak seharusnya.

Pada jangka menengah, jumlah bank umum syariah (BUS) akan terus bertambah banyak dari saat ini. Seperti sudah saya sebutkan, berbarengan dengan penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah, jumlah BUS yang siap beroperasi saja sudah ada dua sampai tiga BUS mulai dari PT Bank Victoria Syariah, PT BCA Syariah, dan PT BNI Syariah.

Sekali lagi, operasionalisasi BUS-BUS ini bukan semata-mata kebetulan berbarengan. Tapi ini merupakan reaksi atas diterapkannya netralisasi kewajiban perpajakan yang tak seharusnya.

Unit-unit syariah (UUS) dari bank-bank konvensional juga akan semakin yakin dan percaya diri dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Ini artinya, netralisasi PPN atas transaksi murabahah mendorong perkembangan bisnis perbankan syariah, baik organik maupun anorganik. Pada akhirnya, ini melahirkan dampak jangka panjang, pelebaran pangsa pasar keuangan dan perbankan syariah dalam negeri.

Lalu seberapa dalam ini akan mendorong rasio pertumbuhan perbankan syariah sendiri?

Saya belum mengetahui itu. Tapi tentunya, ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi pertumbuhan industri perbankan syariah. Sebab, sekali lagi saya katakan, ini mendorong mereka lebih berani dalam melakukan ekspansi pembiayaan.

Selama ini, industri perbankan syariah terkesan masih ragu-ragu dalam melakukan ekspansi pembiayaan. Salahsatu sebabnya adalah keberadaan ketentuan PPN atas transaksi murabahah yang merupakan mayoritas produk jasa keuangan perbankan syariah.

Apakah ini sudah bisa menjadi insentif?

Belum. Ini sama sekali belum menjadi insentif. Penerapan pembebasan PPN atas transaksi murabahah baru merupakan equalisasi antara platform perbankan syariah dan perbankan konvensional.

Bila ingin disebut sebagai insentif, mungkin pemerintah bisa merealisasikannya dalam bentuk lain. Kalau ini, masih merupakan netralisasi atau equalisasi antara perbankan syariah dan konvensional.

Bila kita komparasikan dengan upaya pemerintah Malaysia, sudah sampai manakah posisi Indonesia dalam mendorong pengembangan industri perbankan syariahnya?

Kita masih jauh dibanding upaya yang telah ditempuh Pemerintah Malaysia dalam mendorong pengembangan perbankan syariahnya. Jujur saja, kita masih ketinggalan beberapa langkah dari Malaysia.

Kalau saya ibaratkan, kita baru menapak pada satu langkah yang telah dilakukan Pemerintah Malaysia dalam mendorong perkembangan perbankan syariahnya. Padahal, kalau tidak salah, Pemerintah Malaysia telah merealisasikan enam kebijakan dukungan pengembangan perbankan syariah domestik. Jadi masih ada lima langkah Malaysia yang belum kita tempuh.

Satu langkah yang sudah pemerintah lakukan adalah netralisasi pajak. Equalisasi kebijakan perpajakan antara bank syariah dan bank konvensional. Tapi itu sudah cukup lama dilakukan mereka.

Beberapa langkah lain seperti tax holiday pada realisasi investasi pendirian bank-bank umum syariah atau pun unit usaha syariah, sudah dilakukan Malaysia. Kemudahan merger, juga akuisisi untuk pendirian bank syariah juga sudah mereka lakukan.

Ini mungkin hal-hal yang harus pemerintah pikirkan bila ingin mendorong pengembangan industri perbankan syariah dalam negeri. Harus ada niat dan komitmen serius dari berbagai pihak untuk mendorong pengembangan bank syariah ini.

Hal yang masih dipikirkan para pelaku industri perbankan syariah menjelang penerapan aturan netralisasi PPN atas transaksi murabahah April besok adalah kewajiban PPN Murabahah sebelum aturan diberlakukan. Apalagi kabarnya tunggakannya sampai Rp400 miliar. Apa penilaian Anda?

Hal yang harus jadi catatan, sulit bagi kita untuk menyalahkan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan terkait penerapan PPN murabahah ini. Sebab, mereka pun melakukannya berdasarkan dasar dan ketentuan perundang-undangan yang jelas.

Aturan tersebut termuat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), dimana dalam PBI ini, transaksi murabahah didefinisikan sebagai jual beli yang menjadi objek pajak. Aturan kedua termuat pada Pedoman Akuntansi Syariah (PAS), dimana transaksi murabahah jadi bagian dari objek pajak.

Sebelum tahun 2003, atau sebelum adanya kedua ketentuan ini, hampir tidak ada perdebatan terkait kewajiban PPN atas transaksi murabahah. Baru setelah ada kedua aturan tersebut, yang diterbitkan sekitar Maret 2003, muncul perdebatan soal PPN atas transaksi murabahah.

Karena demikian aturannya, maka mereka tentu saja mau tidak mau tetap harus masuk, menagih kewajiban perpajakan PPN atas transaksi murabahah. Meski sebetulnya, Direktorat Jenderal Pajak juga memahami bahwa ini bukan merupakan objek pajak karena substansinya sama dengan transaksi pada perbankan konvensional.

Tapi, sekali lagi, karena aturannya mengatakan demikian, Direktorat Jenderal Pajak tetap akan menagih kewajiban tersebut. Mereka akan merujuk pada UU tersebut dan tak akan berhenti sampai ini (UU) diubah.

Tapi, diakui atau tidak, kisruh ini sudah menjadi akar kegelisahan industri di tengah optimisme penerapan netralisasi PPN. Apa jalan tengah yang bisa dilakukan pemerintah?
Mungkin perlu diselesaikan tidak dalam level Direktorat Jenderal Pajak dan bank-bank syariah, harus ada penyelesaian di tingkat lebih tinggi, misalnya Presiden. Paling tidak, Menteri Perekonomian.

Bila masalah ini diselesaikan Presiden, saya kira jalan ceritanya akan lain. Sebab kita tahu, presiden memiliki kewenangan cukup luas dalam mengatasi persoalan ini.

Kalau yang digunakan adalah cara-cara standar saja, BUS dan UUS mungkin harus bersabar. Karena, tentunya, persoalan ini akan diselesaikan satu-satu melalui pengadilan pajak sehingga membutuhkan waktu penyelesaian yang tidak sebentar. (Zaenal Muttaqin)

Malaysia Perpanjang Masa Keringanan Perpajakan Syariah Izin 2 Bank Syariah Segera Terbit

Malaysia menegaskan komitmennya memperpanjang masa pemberian insentif perpajakan pada penerbitan obligasi syariah (islamic bond). Insentif serupa juga dijanjikan bakal diberikan pada peusahaan-perusahaan penjualan dan pembelian saham syariah (sharia stockbroking).

Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengatakan, perpanjangan masa pemberian insentif perpajakan bagi penerbitan obligasi syariah dan perusahaan pialang saham syariah dilakukan untuk mendorong pengembangan industri keuangan syariah Malaysia. Perpanjangan diberlakukan dalam jangka waktu lima tahun ke depan atau hingga 2015 nanti.

"Guna menjamin percepatan pembangunan jasa keuangan, terutama keuangan syariah, pemerintah mengusulkan agar insentif perpajakan syariah yang sudah diberlakukan selama ini, diperluas hingga 2015 mendatang" ujar Najib saat menyampaikan rencana anggaran pemerintah kepada Parlemen Malaysia.

Menurut Najib, autoritas perpajakan Malaysia akan membebaskan kewajiban perpajakan berupa bea materai sebesar 20% pada instrumen keuangan Syariah. Kebijakan yang sama juga diberlakukan atas keuntungan yang didapat perusahaan-perusahaan asuransi syariah yang beroperasi di luar negeri.

Adapun pemberian pengurangan perpajakan kepada perusahaan-perusahaan yang memperjualbelikan saham syariah, dilakukan dengan mengurangkan biaya yang dikeluarkan pada saat pendirian perusahaan maupun pada saat penerbitan surat berharga syariah. "Padanya akan diberikan pengurangan dalam perhitungan pajak penghasilannya hingga 2015 mendatang," sebutnya.

Najib menegaskan, pemberian insentif pajak dilakukan Malaysia guna mendorong dan mengukuhkan pertumbuhan industri syariah negeri tersebut. Apalagi hingga saat ini Malaysia sudah masuk dalam jajaran leader di pasar keuangan dan perbankan syariah global, hampir setara dengan Dubai maupun Inggris.

Bukti kepemimpinan keuangan dan perbankan syariah Malaysia di kancah perekonomian syaiah global diantaranya dalam menerbitkan obligasi syariah, Malaysia telah menyumbangkan 62% dari total outstanding obligasi syariah global senilai USD94,7 Miliar. Di saat yang sama, aset perbankan syariah Malaysia juga mencapai 18,8% dari total aset perbankan negeri tersebut. Pun halnya industri asuransi syariahnya juga mencatatkan kepemilikan aset sekitar 7,7% dari total aset asuransi Malaysia.

Sebelumnya, perpanjangan pemberian fasilitas insentif perpajakan pada sektor keuangan dan perbankan syariah sudah diprediksikan oleh banyak fihak. Sejumlah ahli dan pengamat perpajakan menilai, pemerintahan Malaysia sulit untuk tidak memberikan insentif keringanan pajak pada sektor keuangan dan perbankan syariahnya.

Menurut seorang ahli perpajakan setempat kepada Reuters, Malaysia masih akan menerapkan kebijakan perpajakan yang setara antara keuangan syariah dan konvensional seiring berlakunya rezim perpajakan yang baru di tahun depan, ini untuk menjamin bahwa produk-produk perbankan syariah tidak dirugikan.

"Pemerintah, pada dasarnya, berpikiran bahwa ini merupakan jalan untuk memfasilitasi penerbitan sukuk misalnya, dan itu cukup menjadi dasar diberlakukannya kebijakan tersebut," sebutnya.

Masalah perpajakan merupakan hambatan kunci dalam pengembangan perbankan Islam secara global. Ini terutama menyangkut tentang penerapan perpajakan atas transaksi pengalihan aset (murabahah) pada perbankan syariah yang masih diberlakukan sebagian besar negara.

Obligasi syariah didasarkan pada akad ijarah atau struktur leasing yang secara tipikal bisa lebih menarik dibanding utang konvensional, terutama pada saat penjualan dan penyewaan asetnya. Beberapa negara sudah memberlakukan pembebasan pajak pada transaksi ini seperti Singapura dan Inggris. Bahkan, Parlemen Korea Selatan sudah membahas kemungkinan pembebasan pajak obligasi syariah.

Malaysia sendiri dikenala sebagai salahsatu negaa yang giat memberikan insentif perpajakan dalam mendorong perusahaan-perusahaannya menerbitkan obligasi syariah dibanding penerbitan surat utang konvensional. Data Thomson Reuters mencatat, 42% dari total sukuk yang diterbitkan negara-negara Asia Tenggara sebesar USD19,1 Miliar 2009 lalu diterbitkan oleh Malaysia.

Selain pembebasan pajak pada penerbitan obligasi syariah, seperti telah disebutkan di awal, Malaysia juga memberikan pembebasan pajak pada bea materai sebesar 20% dan pengecualian jangkauan aturan perpajakan atas keuntungan yang didapat oleh perusahaan-perusahan asuransinya yang beroperasi di luar negeri hingga lima tahun mendatang, 2015.

Diketahui, Pemerintah Malaysia baru-baru ini mengumumkan untuk menerapkan aturan kewajiban perpajakan pada barang dan jasa pertengahan tahun 2011 nanti. Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong penerimaan anggaran pemerintah sehingga bisa menolong pengurangan beban defisit yang mencatatkan angka pelebaran tertinggi dalam dua dekade terakkhir.

Disebutkan, Pemerintah Malaysia berharap 4% perpajakan bisa menaikan 1 Miliar Ringgit Malaysia, melebihi angka pajak penjualan yang diproyeksi mencapai 7,8 Miliar ringgit atau senilai USD2,31 Miliar sepanjang tahun 2010.

Di sisi lain, otoritas moneter dan perbankan nasional Malaysia, Bank Negara Malaysia mengungkapkan, pihaknya akan segera menerbitkan lisensi pendirian dua bank syariah di negara tersebut. Menurut Gubernur Bank Negara Malaysia Tan Sri Dr Zeti Akhtar Aziz, penerbitan lisensinya dilakukan bersamaan dengan penerbitan lisensi izin pendirian tiga bank konvensional lainnya.

Zeti mengatakan, investor masing-masing bank berasal dari Asia, Eropa, dan Timur Tengah. "Saat ini, Bank Sentral masih memproses aplikasi dan diperkirakan baru menerbitkan lisensinya di Mei atau Juni mendatang," ujarnya.

Zeti mencatat, sepanjang tahun 2009 perbankan syariah Malaysia berhasil meraup pendapatan senilai 9,91 Miliar Ringgit dari sebelumnya 9,12 Miliar Ringgit. Laba sebelum pajak disebutkan mencapai 2,64 Miliar Ringgit dari 1,81 Miliar Ringgit. Banyak faktor dibalik keberhasilan tersebut, diantaranya faktor biasa ekspansi lebih rendah 3,61 Miliar Ringgit dai 4,16 Miliar Ringgit periode sebelumnya. (Reuters/Bernama/Zaenal Muttaqin)

Menjelang Netralisasi PPN Syariah

Bila tak ada aral melintang, pembebasan pajak pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi murabahah seperti diimpikan para pelaku industri perbankan syariah selama bertahun-tahun segera diberlakukan pekan ini. Meski demikian, pemerintah diharap tidak menutup mata atas harapan pembebasan PPN Murabahah sebelum aturan tersebut diberlakukan.

Diketahui, mulai 1 April 2010 ini, bank pemilik unit usaha syariah (UUS) tak akan terkena aturan pajak berganda untuk transaksi murahabah. Hal ini menyusul perubahan peraturan perpajakan baru seperti termuat dalam revisi Undang-Undang Nomor 42/2009 tentang PPN dan PPnBM yang memberlakukan sama antara perbankan konvensional dan syariah terkait PPN.

Direktur Utama PT Bank Mega Syariah Benny Witjaksono mengatakan, industri menyambut gembira diberlakukannya ketentuan pembebasan PPN atas transaksi murabahah perbankan syariah. Terlebih, sebagian besar transaksi jasa keuangan di perbankan syariah lebih banyak menggunakan akad murabahah.

"Pastinya ini tentu membawa harapan lebih baik. Ya, setidaknya kami bisa tenang, tidak lagi dikejar-kejar auditor pajak," ujar Benny.

Menurut Benny, pemberlakuan kebijakan pembebasan kewajiban PPN atas transaksi murabahah merupakan bagian penting dari kemajuan pemerintah dalam memahami keunikan produk transaksi keuangan perbankan syariah. Sehingga diharapkan, industri perbankan syariah ke depan bisa lebih tenang dalam melakukan ekspansinya.

Senada dengan Benny, Direktur Utama PT Bank Victoria Syariah Sari Idayanti mengaku, pihaknya sangat mensyukuri atas penerapan kebijakan pembebasan perpajakan tersebut. Terlebih, ketentuan ini diberlakukan seiring mulai beropeasinya PT Bank Victoria Syariah sebagai bank umum syariah dengan cakupan bisnis lebih luas dibanding sekedar unit usaha syariah.

"Begitu kami beroperasi, begitu ketentuan tesebut diberlakukan. Semoga ini menjadi penanda bahwa bisnis kami di perbankan syariah bakal optimistik," sebutnya.

Merujuk pada keberadaannya, murabahah selaiknya tidak dikenakan perpajakan. Sebab menurutnya, murabahah tidak lebih daripada transaksi jual beli biasa seperti berlaku di bank-bank konvensional. Bila masih diterapkan, selain mengurangi daya saing industri, nasabah juga ikut menanggung beban perpajakan tersebut.

"Tapi, syukurlah dengan penerapan kebijakan ini, sudah ada langkah lebih maju bagi pengembangan industri perbankan syariah domestik. Industri tak lagi kuatir dengan bayang-bayang beban pajak ganda yang harus ditanggung," sebutnya.

Baik Benny maupun Sari mengakui, transaksi murabahah menjadi jasa transaksi paling populer dibanding transaksi lain seperti mudharabah, musyarakah, qardh, dan ijarah. "Di kami, murabahah mencakup produk-produk pembiayaan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dan kendaraan bermotor" sebut Sari.

Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Agustianto berpendapat, pembebasan PPN atas transaksi murababah bisa berdampak positif bagi industri perbankan syariah dalam negeri. Pembebasan akan mengurangi beban 'mahal'nya bertransaksi di perbankan syariah di mata kalangan nasabah.

"Selama ini kan ada anggapan bahwa transaksi di perbankan syariah mahal. Semoga dengan kebijakan ini, anggapan tersebut pudar, industri juga mendapat pengaruh lebih baik," sebutnya.

Mengutip data Bank Indonesia, sebut Agus, transaksi murabahah mendominasi transaksi di perbankan syariah, yakni tak kurang dari 57% dari total transaksi. Selanjutnya transaksi mudharabah sekitar 21,5%, musyarakah 13,6%, qardh 4,2%, dan ijarah 2,7%.

Meski demikian, Benny mengungkapkan, penerapan kebijakan pembebasan PPN atas transaksi murabahah masih belum bisa dikategorikan sebagai insentif bagi pengembangan industri perbankan syariah. Menurutnya, pembebasan ini masih bersifat netralisasi atau ekualisasi atas kebijakan perpajakan yang dibebankan kepada bank syariah, sama dengan bank konvensional.

"Kalau konvensional bebas (PPN), lalu kita pun sama, sama artinya ini belum menjadi insentif. Kecuali kalau kita mendapatkan 'kelebihan' fasilitas dibanding konvensional, baru itu kami katakan insentif," sambungnya.

Bila kebijakan perpajakan ingin diterapkan sebagai insentif, lanjutnya, pemerintah bisa merealisasikannya dengan pembebasan pajak deposito syariah misalnya dari rata-rata saat ini 20% menjadi 10-15%. "Kalau mendapatkan pinjaman dari bank syariah, pajak corporate-nya dikurangi. Itu baru insentif," paparnya.

Hanya saja, lanjut Benny, hal yang masih menguatirkan industri perbankan syariah saat ini adalah kejelasan soal kebijakan PPN atas murabahah sebelum payung hukum PPN Syariah yang anyar diberlakukan atau sebelum 1 April 2010. Benny berharap pemerintah bisa segera memutuskan kejelasan soal kewajiban perpajakan sebelum UU PPN dan PPnBM diberlakukan.

Diketahui, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak masih keukeuh untuk menerapkan kewajiban perpajakan berupa PPN atas transaksi murabahah sebelum pembebasan UU PPN dan PPn BM diberlakukan. Sehingga tak ayal, dengan ketentuan tersebut sejumlah bank harus menanggung utang pajak hingga Rp400 miliar.

Menurut Benny, sikap perbankan jelas, bahwa transaksi murabahah tidak layak untuk dikenakan PPN. Pasalnya, transaksi murabahah tak lebih daripada transaksi jual beli selayaknya di konvensional. "Karena itu, kami ingin ketentuan pembebasan PPN atas transaksi ini berlaku retroaktif, surut," tegasnya.

Sependapat dengan Benny, Agustianto mengatakan, hal paling penting dilakukan pemerintah saat ini adalah memperjelas soal kewajiban PPN atas transaksi murabahah sebelum aturan pembebasan PPN tersebut diberlakukan. Menurut dia, bila pemerintah dalam aturan tersebut mengakui murabahah bukan objek pajak, maka seharusnya pengakuan tersebut juga diberlakukan sama pada transaksi murabahah sebelumnya.

"Adalah keharusan bagi pemerintah untuk memberlakukannya secara surut. Selain bukan objek pajak, bila masih tetap dipaksakan, kasihan industri. Mereka bisa dibebani tanggungjawab yang merugikan," tandasnya.

Menurut Agustianto, ada banyak alasan yang harus difahami sekali lagi oleh pemerintah terkait transaksi murabahah bukan sebagai objek pajak. Diantaranya yaitu murabahah sebagai produk pembiayaan perbankan (financing) yang tidak bisa dikenakan pajak, objek yang di-murabahahkan merupakan bersifat hak guna sekali pakai, dan tidak adanya referensi pemberlakukan kebijakan serupa di berbagai negara lain.

"Kalau ada penerapan selama ini, itu didasarkan ketidakpahaman, keserampangan, tanpa melihat konteks dan pemahaman yang seharusnya," jelasnya.(Zaenal Muttaqin)

Kamis, 25 Maret 2010

Semarak Pasar Perbankan Syariah

Industri perbankan syariah dalam negeri sepertinya bakal makin semarak mulai tahun ini. Pasalnya, para pemain baru sebentar lagi akan masuk seluruhnya 'meramaikan' industri perbankan syariah dalam negeri.



Baru-baru ini misalnya, otoritas moneter Bank Indonesia kembali menerbitkan izin operasional kepada PT Bank Victoria Internasional Syariah sebagai bank umum syariah ke-7 dari enam bank yang sudah ada saat ini. Rencananya, anak usaha PT Bank Victoria Internasonal ini akan memulai operasinya mulai 1 April 2010 mendatang.



Direktur Utama Bank Victoria Internasional Daroel Aboebakar mengatakan, pihaknya bersiap masuk ke pasar perbankan syariah sebagai Bank Umum Syariah (BUS) setelah BI menerbitkan izin operasionalnya per 10 Februari lalu. "Launching operasionalnya pada awal April atau paling lama pertengahan April ini," ujarnya.



Saat ini, sambung Daroel, pihaknya masih memfinalisasi sejumlah persiapan seperti teknologi, sumber daya manusia, dan infrastruktur pendukung lain. Dengan begitu, bank sudah betul-betul siap saat memulai operasinya.



Sekedar informasi, anak usaha syariahnya ini merupakan konversi atas PT Bank Swaguna yang diakuisisi PT Bank Victoria Internasional 2007 lalu dengan kepemilikan 99,8% sahamnya. Saat ini, sebagai Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Victoria Syariah memiliki modal inti Rp110 miliar dan aset senilai Rp250 miliar.



Direktur Utama PT Bank Victoria Syariah Sari Idayanti menambahkan, pihaknya bakal menyasar nasabah di segmen sektor ritel dan UMKM mengingat potensi pasarnya yang masih besar. Mengutip data BI, jumlah pelaku usaha di sektor ini mencapai sekitar 40 juta dengan rincian 20 juta di sektor pertanian dan 20 juta lagi di sektor UMKM, sektor usaha informal dengan sebaran terbanyak di Jawa, terutama Jakarta.



"Di samping itu, nasabah yang kami bidik juga adalah nasabah syariah moderat, yakni nasabah yang yang tidak terlalu fanatik, melainkan juga mengharapkan hasil akhir (investasi) yang optimal. Bagi bank-bank sekelas kami, tampaknya harus menyasar nasabah yang moderat seperti itu, dimana umumnya mereka adalah nasabah UMKM," paparnya.



Untuk tahap awal, sambung Sari, pihaknya akan menambah jaringan 10 kantor cabang pembantu dengan konsentrasi di wilayah DKI Jakarta. Saat ini, Bank Victoria Syariah telah memilik delapan kantor, yaitu enam kantor cabang dan dua kantor cabang pembantu yang tersebar di Denpasar, Jakarta, Tegal, Cirebon, Bandung, Bekasi.





Untuk tahun pertama, sambung Sari, pihaknya telah mematok target peningkatan aset menjadi Rp350 miliar, penyaluran pembiayaan Rp185 miliar dan dana pihak ketiga (DPK) Rp150 miliar. Khusus penerimaan laba, Sari mengaku pihaknya masih menargetkannya masih cukup kecil yakni Rp769 juta. "Namun seiring pertumbuhan bisnis, kami berharap bisa terus meningkat," jelasnya.



Setelah PT Bank Victoria Syariah hadir dengan mengantongi izin operasional dari BI, tiga bank umum syariah lain sepertinya juga akan segera meluncur menyusulnya. Ketiganya yaitu BNI Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, dan BCA Syariah yang masih mengantri izin operasional otoritas perbankan domestik tersebut.



Bank Jabar-Banten Syariah misalnya, sepertinya akan segera mengantongi izin operasional dari BI. Sebab di Februari kemarin, izin usaha pendirian perseroan terbatas dari Kementerian Hukum dan HAM penerbitan BUS Bank Pembangunan Daerah ini sudah dikantongi setelah November 2009 lalu izin prinsip pendirian bank syariah dari BI terbit.



"Kami sendiri sudah berencana melepas unit usaha syariahnya menjadi Bank Umum sejak 2009 lalu, lewat mekanisme spin off," ujar Direktur Utama PT Bank Jabar Banten Agus Ruswendi.



Agus mensinyalkan, bisnis pembiayaan bank ini bakal dikonsentrasikan pada sektor ritel dan UMKM. Agar kapasitas pembiayaan dan kinerjanya lebih moncer, kepemilikan saham bank ini nantinya akan ditawarkan kepada seluruh pemilik saham seperti kabupaten/kota atau pemerintah provinsi.



Izin serupa juga tengah dinantikan oleh PT BCA Syariah. Kandidat Direktur Utama Bank BCA Syariah Yana R. Sutrisno mengatakan, pihaknya sudah memfinalisasi persiapan penyelenggaran operasional sebagai BUS, sehingga ketika izin operasional terbit, pihaknya sudah siap tinggal berjalan.



"Segera setelah mendapatkan ijin dari BI, maka BCA Syariah akan dapat beroperasi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama," jelasnya.



Yana mengatakan, bank syariah yang merupakan konversi dari Bank Utama Internasional Bank (UIB) yang diakuisisinya di akhir 2008 senilai Rp248,257 miliar ini pembukaan awalnya akan membuka 11 kantor, di Jakarta dan Surabaya. Untuk sementara BCA Syariah akan menggunakan kantor UIB yang terdiri dari 6 kantor cabang dan 7 kantor kas. Artinya, BCA setidaknya akan membangun 5 kantor baru untuk mendukung operasional BCA Syariah.



Begitu pun BNI Syariah. Kepala Divisi Syariah BNI Rizqullah mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyiapkan kelengkapan dokumen sebagai syarat pengajuan izin usaha. "Izin prinsip sudah kami dapatkan," jelasnya.



Untuk modal awal BUS BNI ini, sambungnya, direncanakan Rp1 triliun dimana PT BNI Tbk akan menyuntik dana investasi Rp999 miliar atau menggenggam 99,9% saham BUS. Targetnya, di tahun pertama aset bisa mencapai Rp5,9 triliun dan kredit pembiayaan Rp4,9 triliun, serta DPK Rp5,2 triliun.



'Tapi ini sifatnya sementara. Tentang kinerja, tetap saja tergantung kepada direksi BUS nantinya," tegas Rizqullah.



Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Ramzi A Zuhdi sebelumnya mengatakan, izin keseluruhan bank-bank syariah tersebut sudah hampir rampung. Karena pengurusan izin masih berkaitan dengan penyelesaian infrastruktur, dokumentasi, dan pengajuan ke Departemen Hukum dan HAM.



President Director of Karim Business Consulting Adiwarman Karim mengatakan, maraknya para pemain baru masuk ke sektor perbankan syariah domestik dilatari oleh alasan yang cukup beragam. Salahsatunya adalah tarif nol persen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk dan jasa syariah baik di sektor perbankan dan keuangan per 1 April 2010.



“Kondisi ini menjadi fakta menariknya perbankan syariah. Apalagi pasarnya juga masih sangat besar dengan kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan jasa dan produk-produk keuangan dan perbankan syariah yang terus meningkat,” papar Karim.



Alasan lain, sambungnya, adalah pemberlakuan asas kepemilikan tunggal atau single presence policy (SPP) seperti diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia. Kebijakan yang bertujuan meningkatkan economic of scale, pengawasan, dan mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat ini mendorong kalangan investor untuk mendiversifikasi sebagian usahanya menjadi bank syariah.



Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Bambang Sutrisno mengatakan, kehadiran para pemain baru akan menambah kaya alternatif keuangan dan perbankan syariah. Harapan masyarakat di berbagai kawasan dan lapisan untuk memanfaatkan jasa dan produk syariah makin mudah direalisasikan.



“Praktis, masyarakat juga terbebas dari riba dalam pemanfaatan jasa dan produk keuangan dan perbankannya,” kata dia.



Hanya, kata Bambang, para pemain baru maupun lama dituntut makin inovatif dalam menawarkan produk dan jasa yang ditawarkannya. Pemerintah dan otoritas perbankan juga diharapkan bisa menyediakan fasilitas insentif dan regulasi yang lebih mendukung bagi pertumbuhan industri.



Secara industri, sambung Bambang, bila ketiga bank lagi sudah diperoleh izin operasinya tahun ini, maka akumulasi asset di industri perbankan syariah bisa mencapai Rp80-90 triliun, bahkan Rp90 triliun. Selain itu, jumlah pembiayaan yang bisa dikucurkan juga akan relatif lebih besar. (Zaenal Muttaqin)

Industri Keuangan Syariah Revitalisasi Ekonomi Kawasan Beberapa Aspek Masih Butuh Perhatian

Industri keuangan syariah telah berperan merevitalisasi perekonomian sekaligus memperkuat jalinan sistem keuangan negara- negara di kawasan Asia dan Timur Tengah. Namun, dalam menopang pertumbuhannya, industri juga masih membutuhkan pembenahan pada sejumlah aspeknya.



Gubernur Bank Negara Malaysia Tan Sri Dr Zeti Akhtar Aziz mengatakan, keberadaan pusat-pusat keuangan di Asia dan Timur Tengah telah meningkatkan integrasi negara-negara dalam memperkuat fondasi 'jalan sutra' baru sistem keuangan dan prospek pertumbuhan lebih berarti.



"Ini juga membukakan prospek bagi negara-negara berekonomi maju dalam menempa jalinan hubungan sistem keuangan yang lebih kuat dengan kawasan Asia dan Timur Tengah yang dinamis," ujarnya pada Official Monetary and Financial Institutions Forum (OMFIF) yang berlangsung di Frankfurt, Jerman.



Menurut Zeti, industri keuangan Islam telah berada dalam posisi sangat tepat untuk menjadi kendaraan di jalur ’sutra perekonomian’ (silk road) negara-negara di kawasan ini. Sebab, jelasnya, industri ini memungkinkan pemberian dukungan infrastruktur yang cukup siap dalam posisi tersebut.



Tuntutan atas ketentuan perundang-undangan dan kerangka hukum dasar keuangan Islam juga telah sudah cukup mapan. Tak hanya dalam menopang pertumbuhan di level negara-negara Asia dan Timur Tengah, melainkan juga pada level internasional.



Zeti mencontohkan Malaysia, dimana di negara ini sudah mulai diberlakukan standard prudential industri keuangan melalui Islamic Financial Services Board (IFSB) 2002. Upaya penguatan kehati-hatian ini telah berada dalam tingkat kemajuan signifikan. "Upaya harmonisasi atas intepretasi syariah dan isu-isu terkait pengakuan (atas kesyariahan produk-produk) juga sudah dalam tingkat yang cukup maju," jelas Zeti.



Malaysia, sambung Zeti, telah memiliki sistem keuangan Islam yang cukup maju dan komprehensif, baik di sektor asuransi (takaful) maupun perbankan. Pasar modal dan keuangan Islam juga telah berkembang maju, beroperasi secara sejajar dengan sistem keuangan konvensional.



"Mereka didukung dengan baik oleh kerangka kerja, aturan, dan hukum perundang-undangan syariah yang komprehensif untuk menjamin kekuatan dan kemampuannya," katanya.



Tak hanya itu, sambungnya, sistem keuangan Islam di kawasan ini juga mengalokasikan investasi cukup besar di bidang sumber daya insani sebagai modal penting perkembangannya ke depan. Terakhir misalnya, Malaysia mendirikan International Centre of Education in Islamic finance (INCEIF) dan nternational Shariah Research Academy (ISRA) dalam mendukung pendidikan dan penelitian keuangan Islam.



Sementara itu, sejumlah pelaku industri maupun ekonom yang menaruh perhatian atas perkembangan sistem keuangan Islam mengaku masih adanya beberapa aspek yang perlu dibenahi. Tujuannya agar didapat kepastian hukum, keamanan investasi, serta dukungan yang tegas pada tahun-tahun mendatang melalui ketersediaan sumber daya insani.



Chief Executive Jordan Islamic Bank Musa Abdelaziz Shihadeh msailnya. Menurut Musa, industri keuangan dan perbankan Islam saat ini harus mempercepat standarisasi dalam menopang pertumbuhannya. Di saat yang sama, otoritas moneter juga didesak menyediakan payung hukum bagi penerbitan produk-produk syariah di masing-masing pasar domestiknya.



Menurutnya, industri keuangan dan perbankan Islam membutuhkan standarisasi dan aturan hukum guna mengatasi berbagai pandangan dan praktik-praktik yang berbeda, selaras dengan perbedaan pembacaan atas sumber-sumber syariahnya. Ini juga dilakukan agar industri bisa tumbuh tanpa dibelit perbedaan pandangan.



"Di sini terdapat kebutuhan legislasi yang tidak hanya membuat perbankan syariah terpisah keberadaannya dari bank konvensional, melainkan memberi mereka kesempatan investasi dalam berbagai peluang investasi lain di seluruh negara-negara," ujarnya.



Musa menyarankan standarisasi produk dan layanan keuangan dan perbankan syariah karena masih tingginya perbedaan pendapat tentang kesesuaian atau tidaknya sejumlah produk dan jasa keuangan lembaga keuangan 'syariah' dengan prinsip-prinsip syariah. Perbedaan ini dikuatirkan menimbulkan ketidakpastian bagi industri maupun konsumen sehingga malah menyebabkan kemunduran industri keuangan syariah.



Musa menilai, industri keuangan dan perbankan syariah yang saat ini diperkirakan memiliki aset tak kurang dari USD1 triliun masih dikelola dengan standar dan payung hukum skala nasional dengan melibatkan sejumlah kalangan intelektual yang memiliki basis pemahaman keuangan syaraih.



Sekretaris Jenderal Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) wilayah Bahrain Mohamad Nedal Alchaar mengatakan, harmonisasi standar seperti diusulkan Musa Abdelaziz Shihadeh memang akan sangat membantu dalam mendorong industri tersebut. Sebab dengan begitu, industri memiliki patokan kebijakan bisnis dan penerbitan produk yang akan ditawarkan.



"Saya fikir, harmoni (standar) merupakan prasyarat bagi industri untuk meraih sukses. Karena itu, isu penyamaan standar adalah luar biasa penting pada saat ini. Apalagi sekarang perbankan syariah juga sudah menjadi fenomena global," sambung Alchaar.



Di sisi lain, Professor of Banking & Financial Economics University Kebangsaan Malaysia (UKM) Dr Abdul Ghafar Ismail mengatakan, industri keuangan dan perbankan syariah saat ini masih harus memperkuat diri di sisi pengembangan sumber dayanya. Ini didasarkan atas tingginya perhatian pengembangan keuangan syariah di sejumlah negara, namun dukunan sumber daya manusia masih relatif minim.



Pengembangan sumber daya insani, sambung Ismail, merupakan salahsatu syarat mutlak bagi pengembangan industri ini. Mereka dituntut memiliki pemahaman yang sama tentang sistem dan pengembangan inovasi produk dan jasa keuangan terkini.



"Bila anda ingin mengembangan produk dan jasa layanan, Anda membutuhkan berbagai ahli dalam keuangan Islam. Sebab anda membutuhkannya untuk menerjemahkan produk dalam sebuah dokumen legal hingga manajemen resiko, Jadi kita membutuhkan bankit yang ideal terkait pengembangan produk dan jasa layanan yang berbeda dengan konvensional," sambutnya. (ABC News/Reuters/Bernama/Brunei News/Zaenal Muttaqin)

Supaya Bisa Memberi Kemaslahatan Lebih

Populasi muslim di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Lebih dari itu, mereka juga dikenal sebagai muslim yang cukup taat.



Salah satu ukuran ketaatan mereka adalah banyaknya jumlah masyarakat muslim indonesia yang menunaikan ibadah haji. Setiap tahun, angka ini terus bertambah.



Dilihat dari sisi bisnis, keinginan sebagian besar masyarakat menunaikan ibadah haji merupakan ceruk bisnis yang amat potensial. Sebab tentu saja, yang berkeinginan naik haji harus me-manage keuangannya sejak awal.



Memanfaatkan potensi tersebut, sejumlah bank syariah hadir dengan menawarkan produk tabungan haji, jasa simpanan sekaligus pengelolaan perencanaan naik haji. Namun menurut Direktur Bisnis Bank Mega Syariah Ani Murdiati, itu bukan semata kepentingan bisnis, melainkan juga keinginan industri memberikan kemaslahatan lebih bagi masyarakat yang berkeinginan ibadah.



Berikut petikan wawancara perempuan berjilbab kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 08 Juli 1962 silam kepada Seputar Indonesia;



Bisa digambarkan prospek tabungan haji nasional?

Berbicara prospek tabungan haji nasional, jelas sangat positif dan sangat cerah ke depannya. Sebab dengan jumlah populasi muslim yang cukup besar, maka pasar produk tabungan haji memiliki pasar yang jelas besar.



Apalagi haji juga merupakan salahsatu kewajiban agama bagi sebagian masyarakat Muslim yang mampu. Bahkan saya kira, setiap orang Islam juga pasti memiliki hasrat dan keinginan untuk melaksanakan haji. Tinggal bagaimana merencanakannya.



Nah, di situlah bank-bank syariah hadir dengan menawarkan produk tabungan haji. Dimana melalui produk tersebut, si nasabah yang tertarik bisa merencanakannya sejak awal dengan ringan namun kontinyu.



Berapa yang sudah dimanfaatkan?

Kalau tidak salah, secara nasional, jumlah nasabah yang sudah bank-bank syariah sasar sekurangnya 61 ribu orang nasabah per bulan per Januari 2010. Ini jumlah calon jamaah haji yang sudah terdaftar dalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Sikohat) Departemen.



Bila dikalkulasi dengan yang baru aplikasi produk tabungan haji, barangkali jumlahnya bisa lebih dari itu. Jadi saya kira, jumlah yang sudah disasar industri perbankan syariah sudah lumayan besar.



Dengan pasar yang cukup besar tersebut, langkah yang sudah ditempuh Bank Mega Syariah sendiri sudah seperti apa?

Memanfaatkan potensi tersebut, kami juga menawarkan produk tabungan haji. Namanya, Produk Tabungan Haji iB Mega Syariah. Kita sudah meluncurkannya sejak pertengahan tahun 2009 lalu.



Ini berbarengan dengan diresmikannya PT Bank Mega Syariah (Mega Syariah) sebagai Bank Umum ke-delapan Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH). Ini didasarkan SK Nomor 59/Tahun 2009 tanggal 8 April 2009, dimana kami mendapatkan izin menjadi BPS BPIH yang tersambung secara online dengan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Departemen Agama RI.



Untuk sementara ini, sudah seperti apa hasilnya?

Hingga akhir Januari 2010 misalnya, kami sudah bisa mengumpulkan dana tabungan haji hingga Rp32 miliar. Masih kecil memang bila dibandingkan dengan nilai yang sudah dicatatkan bank-bank lain, tapi kami kan baru memulai belakangan ini saja.



Dari berapa nasabah angka tersebut?

Jumlahnya sekitar 3.867 orang nasabah. Mereka yang sudah terdaftar di data Ssikohat Departemen Agama. Oiya, mereka yang sudah terdaftar ini sudah memenuhi ketentuan jumlah tabungan hajinya sudah mencapai Rp20 juta.



Sementara yang belum terdaftar di Siskohat Departemen Agama karena belum memenuhi persyaratan berupa jumlah tabungan minimum Rp20 juta kira-kira sebanyak 1.314 orang nasabah. Dua minggu yang lalu, kami juga menerbitkan talangan haji plus. Jumlahnya baru mencapai 86 orang nasabah.



Apa bedanya dana tabungan biasa dengan talangan haji plus?

Beda. Kalau tabungan haji biasa terdiri dari nasabah calon jamaah haji yang memanfaatkan jalur Ongkos Naik Haji (ONH) Reguler. Nah, kalau yang talangan haji plus, adalah mereka yang memanfaatkan jalur ONH Plus.



Setelah menabung di produk dana tabungan haji, berapa lama biasanya rentang seorang nasabah bisa naik haji?

Biasanya ada daftar tunggu hingga tiga tahun bagi yang sudah tercatat di Siskohat Departemen Agama. Jadi bagi yang sudah terdaftar tahun ini di Siskohat Departemen Agama, maka dia bisa menunaikan ibadah hajinya pada tiga tahun mendatang, kira-kira di tahun 2012 dia sudah bisa berangkat haji.



Karena berdasar siklus tersebut, maka nasabah tabungan haji kami diperkirakan baru berangkat naik haji pada tiga tahun mendatang. Jadi bila Anda tanya berapa jumlah nasabah kami yang sudah naik haji? Belum ada. Lha kami juga baru mulai menawarkan produk ini belum juga setahun.



Bagaimana dengan rencana bisnis produk tabungan haji Bank Mega Syariah tahun ini?

Kami berharap bisa merealisasikan target pengumpulan dana tabungan haji sepanjang tahun ini bisa mencapai Rp110 milair. Ini dengan asumsi bahwa nasabah yang bisa kita tarik sekitar 7.300 orang nasabah. Kami akan upayakan agar produk yang kami tawarkan menjadi pilihan utama dari kalangan nasabaha yang berencana menunaikan ibadah haji.



Kami memperkirakan, dari 7.300 orang atau Rp110 miliar dana produk tabungan haji masih akan lebih banyak didominasi oleh nasabah untuk kelompok ONH Reguler. Untuk ONH Plus, pasti juga bakal bertumbuh tingkat permintaannya, tapi mungkin belum akan sebesar di ONH Reguler.



Kalau dana talangan haji bagaimana?

Kami berharap itu juga bisa dimanfaatkan kalangan nasabah. Produk ini diberikan pada nasabah yang memang membutuhkan dan komit untuk pergi haji sebelum dana tabungan cukup. Misalnya, jika nasabah pada tahun pertama hanya bisa mengumpulkan misalnya Rp 5 juta, sesuai akad dan komitmen kita bisa memberikan dana talangan Rp 15 juta sehingga nasabah bisa mendapatkan nomor kursi duluan dan berangkat haji. Sisanya bisa diangsur kemudian.



Sejumlah rencana bisnis sudah disiapkan, apa kira-kira langkah atau strategi yang akan dilakukan Bank Mega Syariah dalam menyasar pasar tabungan haji?

Tentunya bagi kami yang penting adalah menanamkan kepercayaan pada kalangan nasabah untuk mempercayakan perencanaan dan pengelolaan dana hajinya kelak dilakukan oleh kami. Sebab bila itu sudah bisa dilakukan, kami yakin masyarakat akan semakin banyak memanfaatkan produk tabungan haji yang kami tawarkan.



Namun untuk itu, tentu kami pun menyadari perlu dilakukan sejumlah langkah-langkah teknis. Sebut misalnya penambahan jumlah outlet. Ini penting guna memudahkan masyarakat dalam mengakses produk dana tabungan haji dan mempercayakan pengelolaannya kepada Bank Mega Syariah.



Hingga pertengahan tahun ini, kami akan menambah jumlah outlet yang memasarkan produk tabungan haji hingga 400 outlet. Jumlah ini naik dari saat ini sekitar 200 unit outlet yang ikut memasarkan produk dana tabungan haji.



Penambahan jumlah outlet ini juga tidak lepas dari lonjakan permintaan produk tabungan haji pada industri perbankan syariah secara keseluruhan. Mungkin niatnya juga bukan semata kepentingan bisnis, ini Bagi ibadah karena menjembatani keinginan masyarakat yang ingin melakukan salahsatu ibadah pokoknya, haji.



Strategi lain?

Tentu kami juga tidak akan mengabaikan strategi lain semisal pendekatan berbasis komunitas, dimana kita dekati kelompok-kelompok seperti majelis taklim dan berbagai kelompok lain yang memiliki niat dan komitmen melakukan ibadah haji. Promosi juga tentu jadi bagian dalam mendorong pertumbuhan produk ini.



Lantas apa alasan khusus yang ditawarkan agar produk tabungan haji Bank Mega Syariah dipercaya masyarakat?

Kami berupaya memberikan berbagai kemudahan bagi si nasabah. Mulai dari panduan ibadah haji, latihan manasik haji, mengurus pencatatannya secara langsung ke Siskohat Departemen Agama, perkumpulan untuk mendapatkan ceramah dan kiat-kiat haji.



Apa mimpi Anda dengan produk dana tabungan haji Bank Mega Syariah ke depan?

Kami memiliki mimpi, kami menjadi lima besar di jajaran bank-bank syariah nasional dalam menawarkan produk dana tabungan haji. Sehingga kami juga bisa memberikan kemaslahatan bagi nasabah dalam menunaikan kewajiban ibadahnya. (Zaenal Muttaqin)

Tinggal Memilih

MENUNAIKAN kewajiban ibadah haji sepertinya bukan lagi perkara berat. Beragam fasilitas kemudahan sudah banyak ditawarkan, termasuk manajemen keuangan buat biaya perjalanannya nanti.



Ya, bank-bank syariah kini sudah menawarkan produk tabungan haji. Tinggal komitmen dan kemauan nasabah, bank-bank syariah ini yang akan mengelolanya hingga biaya dirasa cukup dan nasabah bisa segera berangkat ibadah haji.



Bank Muamalat misalnya, menawarkan produk bertajuk Tabungan Haji Arafah. Sesuai namanya, produk disiapkan bagi nasabah yang ingin beribadah haji dalam suatu perencanaan yang terukur.



Syaratnya mudah, nasabah yang berniat haji hanya cukup mengisi formulir pembukaan rekening di bank tersebut. Selain itu, nasabah juga hanya membayar setoran awal minimal sebesar Rp500 ribu.



Melalui produk ini, Bank Muamalat menawarkan beragam keunggulan. sebut misalnya perolehan bagi hasil yang ditambahkan secara otomatis ke saldo tabungan arafah tiap bulan sehingga jumlah tabungan nasabah bisa terus berkembang.



Keistimewaan lain, tahun keberangkatan dan besarnya setoran tabungan dapat direncanakan sesuai kemampuan nasabah. Adanya kepastian kuota/jadwal keberangkatan karena sistem Bank Muamalat on-line dengan Siskohat Departemen Agama.



Khusus nasabah yang memiliki saldo efektif minimal Rp5 juta akan memperoleh perlindungan Asuransi Syariah yang memberi jaminan terpenuhinya BPIH kepada Ahli Waris. Selain itu, haji yang ditunaikannya juga haji qard.



Nasabah juga bisa mempertimbangkan produk tabungan haji Bank Syariah Mandiri (BSM) yang bertajuk Tabungan Mabrur BSM. Dengan tabungan yang dikelola berdasar prinsip Mudharabah Muthlaqah ini, nasabah bisa melakukan setoran awal Rp250 ribu dan setoran selanjutnya Rp100 ribu.



Saldo minimal untuk didaftarkan ke SISKOHAT adalah Rp20.000.000,- atau sesuai ketentuan dari Departemen Agama. Agar konsisten dengan niat awal nasabah, tabungan ini tidak dapat dicairkan kecuali untuk melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji/Umrah (BPIH).



Dengan mempercayakan dana tabungan hajinya di BSM, pihak BSM menjanjikan tiga manfaat sekaligus. Keamanan simpanan di bank, fasilitas talangan haji, dan online dengan Siskohat Departemen Agama.



Selain kedua bank tadi, nasabah juga bisa menjatuhkan pilihannya kepada Tabungan Haji Indonesia (THI) yang ditawarkan BNI Syariah. Syaratnya, calon nasabah membuka rekening THI di Cabang/Capem BNI Syariah Penerima Setoran (BPS), Biaya Perjalanan Haji (BPH) yang tersambung dengan Siskohat dan domisilinya sama dengan domisili Nasabah.



Setoran pertama memang agak mahal, karena selain setoran ini juga sekaligus merupakan saldo minimum yakni Rp5 juta. Setoran selanjutnya bahkan bisa hanya Rp5000. Setoran pertama merupakan setoran awal BPH untuk menunaikan ibadah haji sesuai tahun yang dikehendaki dan di blokir oleh sistem (tidak dapat ditarik).



Lebih dari itu, THI BNI Syariah juga memberikan fasilitas berupa bebas biaya administrasi, pembukaan rekening, pengelolaan rekening maupun biaya penutupan rekening. Calon haji juga di-cover asuransi kecelakaan diri dan kematian. Selain itu, setoran dan penarikan juga bisa dilakukan di seluruh Cabang/Capem BNI dan BNI Syariah (On-line).



Bila masih kurang sreg, nasabah juga bisa memilih simpanan dan pengelolaan tabungan hajinya di BTN Syariah melalui produk Tabungan Baitullah Batara iB. Dengan menggunakan akad sesuai syariah yaitu Mudharabah (Investasi), bank menjanjikan bagi hasil yang menguntungkan dan bersaing bagi nasabah atas simpanannya.



Untuk mengaplikasi produk ini, nasabah hanya wajib melakukan setoran awal Rp250 ribu dan langsung memiliki Tabungan Baitullah Batara iB. Pembukaan rekening pada Kantor Cabang Syariah yang telah online dengan SISKOHAT Depag.



Adapun setoran lanjutan dan penarikan dana tabungan bisa dilakukan diseluruh Kantor Cabang Syariah Bank BTN dan Layanan Syariah pada Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu Bank BTN (Konvensional) di seluruh Indonesia.

Diprioritaskan terdaftar sebagai Calon Jemaah Haji setelah memperoleh dan menunjukkan Surat Pendaftaran Pergi Haji dari Kandepag domisili penabung.



Bahkan, bisa juga nasabah menjatuhkan pilihannya pada Tabungan iB Taharoh yang ditawarkan Bank DKI Syariah. Syaratnya cukup sederhana, nasabah hanya harus melakukan setoran awal minimal Rp100 ribu namun bebas merencanakan kapan akan menunaikan haji atau pun untuk melaksanakan umrah.



Fasilitas yang diberikan pada nasabah juga cukup beragam. Mulai dari pelaksanaan ibadah haji dan umroh secara terencana atau bebas, nasabah juga berpeluang mendapat hadiah umroh, santunan duka hingga Rp10 juta, bagi hasil tiap bulan, dan online dengan sistem SISKOHAT Departemen Agama untuk melihat kepastian kuota/porsi keberangkatan haji. (Zaenal Muttaqin)

Menangguk Untung dari Haji

HAJI bukan sekedar persoalan kewajiban ibadah dan pahala. Lebih dari itu, haji juga membawa manfaat ekonomis. Tapi tentu saja, selaras dengan tujuan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri.

Disebut membawa manfaat ekonomis, karena dari sanalah mengucur peluang bisnis, yang jika dimanfaatkan, bisa-bisa mendulang untung. Karena itu tak sedikit kemudian para pemodal melirik bisnis haji, mulai dari paket perjalanan haji hingga tabungan haji.

Yang cukup mencolok diantaranya tabungan haji. Sebuah tabungan investasi yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan khusus, melakukan ibadah haji ke tanah suci. Dan saat ini, tak sedikit dari bank-bank syariah domestik mulai memanfaatkan ceruk di bisnis haji.

Sebut misalnya BRI Syariah. Bank umum syariah yang sejak beberapa waktu lalu dibentuk PT BRI Tbk ini menargetkan pembiayaan tabungan haji sepanjang tahun ini bisa mencapai sekurangnya Rp20 miliar atau 10% dari total pembiayaan yang ditargetkan sebesar Rp200 miliar sepanjang tahun ini.

Group Head Consumer Banking BRI Syariah Sri Esti Kadaryanti mengungkapkan, pihaknya optimis bisa mengumpulkan tabungan haji sebesar itu. Ini didasarkan tingginya minat masyarakat Muslim dalam negeri yang ingin menunaikan salahsatu kewajiban agama tersebut.

Menurut Sri, untuk merealisasikan target tersebut, pihaknya akan lebih banyak mengandalkan strategi berbasis komunitas. Artinya, BRI Syariah bakal lebih giat memasarkan produk tabungan haji dengan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) di berbagai daerah.

Selain itu, sambung Sri, agar pemasarannya lebih luas dan mampu menjangkau sasaran di berbagai daerah, pihaknya juga berniat menempuh strategi perbanyak kantor cabang yang berfungsi memasarkan produk tabungan haji, termasuk produk-produk syariah lainnya. Tahun ini, jelasnya, BRI Syariah bakal menambah sekitar 50 kantor cabang pembantu. Saat ini, BRI Syariah sudah memiliki 55 kantor cabang di berbagai daerah.

Mengingat banyaknya tingkat permintaan masyarakat atas tabungan haji, sambung Sri, pihaknya terus mengembangkan inovasi produk tabungan tersebut. Baru-baru ini misalnya, BRI Syariah mulai menawarkan produk dana talangan haji. Produk ini ditawarkan bagi nasabah yang sudah terdaftar sebagai jamaah haji, namun masih kekurangan biaya.

Menurut Sri, penawarannya dilakukan sebagai penguat atas keberadaan tabungan haji yang sudah ditawarkan sebelumnya. Besarnya dana talangan haji yang diberikan kepada setiap nasabah mencapai Rp18 juta.

“Berbeda dengan tabungan haji. Bila tabungan haji, nasabah harus menabung sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Sementara, dana talangan haji diberikan pada nasabah yang sudah terdaftar sebagai calon jamaah haji tapi masih kekurangan biaya," ujar Esti.

Selain BRI Syariah, Bank Mega Syariah juga mulai ikut menawarkan produk tabungan haji. “Memanfaatkan potensi tersebut, kami juga menawarkan produk tabungan haji. Namanya, Produk Tabungan Haji iB Mega Syariah. Kita sudah meluncurkannya sejak pertengahan tahun 2009 lalu,” ujar Direktur Bisnis PT Bank Mega Syariah Ani Murdiati.

Penerbitan produk tabungan haji dilakukan berbarengan dengan diresmikannya PT Bank Mega Syariah sebagai Bank Umum ke-delapan Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) tahun tersebut. Ini didasarkan SK Nomor 59/Tahun 2009 tanggal 8 April 2009, dimana Bank Mega Syariah beroleh izin menjadi BPS BPIH yang tersambung secara online dengan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Departemen Agama RI.

Meski baru ditawarkan pertengahan tahun lalu, tingkat partisipasi masyarakat terhadap dana tabungan haji cukup tinggi. Buktinya, hingga akhir Januari 2010, Bank Mega Syariah berhasil mengumpulkan dana tabungan haji sebesar Rp32 miliar dari 3.867 orang nasabah. Mereka yang sudah terdaftar di data Siskohat Departemen Agama.

Tahun ini, sambung Ani, pihaknya berharap bisa merealisasikan target pengumpulan dana tabungan haji sepanjang tahun ini bisa mencapai Rp110 milair. Ini dengan asumsi bahwa nasabah yang bisa ditarik sekitar 7.300 orang nasabah. “Kami akan upayakan agar produk yang kami tawarkan menjadi pilihan utama dari kalangan nasabaha yang berencana menunaikan ibadah haji,” tandasnya.

Tentunya bagi kami yang penting adalah menanamkan kepercayaan pada kalangan nasabah untuk mempercayakan perencanaan dan pengelolaan dana hajinya kelak dilakukan oleh kami. Sebab bila itu sudah bisa dilakukan, kami yakin masyarakat akan semakin banyak memanfaatkan produk tabungan haji yang kami tawarkan.

Ani optimis, meski banyak bank-bank syariah lain menawarkan produk serupa, pihaknya akan mampu mencapai target tersebut. Karena itu, tidak mau kalah lengkah dengan bank-bank syariah yang menawarkan produk tabungan haji, Bank Mega Syariah juga mulai menawarkan produk Dana Talangan Haji Plus.

“Dua minggu yang lalu, kami juga menerbitkan talangan haji plus. Jumlahnya baru mencapai 86 orang nasabah,” jelasnya.

Ani menuturkan, produk dana talangan haji diberikan kepada nasabah yang membutuhkan dan komit untuk pergi haji sebelum dana tabungan cukup. “Misalnya, jika nasabah pada tahun pertama hanya bisa mengumpulkan misalnya Rp 5 juta, sesuai akad dan komitmen kita bisa memberikan dana talangan Rp 15 juta sehingga nasabah bisa mendapatkan nomor kursi duluan dan berangkat haji. Sisanya bisa diangsur kemudian,” paparnya.

Guna mendukung pemasaran produk tabungan haji ini, lanjut Ani, pihaknya juga siap menyosialisasikannya dengan lebih aktif. Selain itu, agar lebih menjangkau masyarakat, pihaknya juga akan menambah jumlah outlet yang menawarkan produk ini menjadi 400-an outlet dari tahun sebelumnya 200 outlet.

Selain bank-bank umum syariah, Bank Pembangunan Daerah (BPD) melalui Unit Usaha Syariah (UUS)-nya juga mulai ikut membidik dana tabungan haji. Sebut misalnya UUS PT Bank DKI, menawarkan tabungan investasi untuk membiayai rencana haji nasabah melalui produk bertajuk Tabungan iB Taharoh.

Presiden Direktur PT Bank DKI Winny Erwindia mengatakan, tabungan tersebut ditawarkan dengan menggunakan prinsip mudharabah atau wadiah yang disesuaikan dengan kemampuan nasabah. Sebaliknya, nasabah juga bisa merencanakan sendiri jangka waktu pemberangkatannya.

“Sementara ini, segmen pasar kami kebanyakan masih pegawai negeri. Ke depan, kami akan meluaskan dengan memadukan program pengembangan usaha kecil menengah dan tabungan haji,” ujar Winny.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Bambang Soetrisno mengatakan, produk tabungan haji memiliki prospek cerah untuk dikembangkan oleh industri perbankan syariah dalam negeri. “Sebab selain merujuk pada total populasi muslim Indonesia yang cukup besar, haji juga salahsatu ibadah wajib bagi setiap Muslim yang mampu. Jadi saya kira akan sangat prospektif,” jelasnya.

Menurut Bambang tabungan haji juga memberikan manfaat cukup besar baik bagi nasabah maupun bank syariah sendiri. Manfaat bagi nasabah adalah adanya peluang ibadah haji secara terencana tanpa harus memberatkan sisi keuangan karena ditabung dalam jangka waktu lama dan menanamkan kebiasaan menabung sekaligus menjauhkan dari pola konsumerisme.

“Sedang bagi industri sendiri, dana haji merupakan dana jangka panjang sehingga cocok untuk diinvestasikan pada instrument investasi jangka panjang seperti pabrik, industry manufaktur, hingga perkebunan. Jadi aspek kemanfaatannya juga lebih luas,” paparnya.

Bambang menambahkan, agar pemanfaatan produk tabungan haji bisa lebih luas, Asbisindo mendorong industry bank-bank syariah domestic giat menyosialisasikannya. Sedang dari sisi pemerintah, Bambang menyarankan agar pengelolaan dana-dana haji diserahkan sepenuhnya kepada bank-bank syariah.

“Departemen Agama harusnya lebih berperan. Bahwa tabungan ini untuk ibadah, maka akan lebih afdhol kalau misalnya instrument pengelolaan dana-dananya juga dilakukan melalui lembaga keuangan yang menekankan aspek syariah, bukan konvensional,” tegasnya.

Menurut Bambang, bank-bank syariah domestic sangat siap bila pengelolaan dan penghimpunan dana-dana haji dipercayakan sepenuhnya kepada bank-bank syariah. Selain dukungan sumber daya, infrastruktur jaringan dan fisik juga sudah sangat memadai. “Kami juga sudah memiliki jangkauan luas di berbagai daerah,” tambahnya. (Zaenal Muttaqin)