Jumat, 28 Januari 2011

Tahun Emas Keuangan Syariah

Tahun 2010, baru beberapa pekan terlewati. Suatu tahun yang penuh liku namun cukup menggembirakan bagi kinerja pertumbuhan dan perkembangan bisnis industri keuangan dan perbankan syariah di dalam negeri. Meski secara general, perkembangan industri keuangan dan perbankan lokal global, terutama yang bersifat konvensional, masih dihadapkan pada ‘sisa-sisa’ pemulihan krisis di tahun-tahun sebelumnya.
Mengutip data evaluasi Bank Indonesia 2010 maupun reportase sejumlah media yang menaruh perhatian cukup besar, kita bisa menampak dinamika yang cukup progresif dari perkembangan bisnis dan pertumbuhan kinerja industri perbankan dan keuangan syariah lokal. Tidak hanya di sisi pertumbuhan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK), industri perbankan dan keuangan syariah juga mencatatkan kinerja pembiayaan yang cukup cemerlang.
Data Bank Indonesia mencatat, menjelang triwulan III-2009, penghimpunan dana pihak ketiga yang dilakukan bank-bank syariah domestic mencatatkan pertumbuhan tahunan hingga 39,16% (Year on Year/YoY). Prosentase pertumbuhan ini melewati prosentase pertumbuhan pada periode yang sama tahun 2009 sebesar 35,19% (YoY). Grafik pertumbuhan yang meningkat ini berbalik dengan kecenderungan perlambatan pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga di awal-awal tahun 2010. Sehingga, secara keseluruhan, total dana pihak ketiga yang bisa dihimpun bank-bank syariah masih bisa dipertahankan di level Rp 2 triliun.
Dari sisi pembiayaan (financing), bank-bank syariah nasional berhasil mencatatkan tren pertumbuhan signifikan dengan tingkat pertumbuhan sebesar 34,85% (YoY), lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan pada periode yang sama tahun 2009 sebesar 18,16% (yoy). Riset Bank Indonesia mencatat, peningkatan pertumbuhan sebagian besar dikontribusikan oleh kegiatan pembiayaan di sektor riil yang terus melakukan pemulihan setelah sempat tertekan akibat krisis keuangan di 2008. Dan yang membanggakan, rasio pembiayaan bermasalah (non performing finance/NPF) yang turun 4,10% di bawah 4% mengindikasikan aktivitas pembiayaan pengelolaan resiko pembiayaan perbankan syariah dilakukan secara hati-hati.
Selain aspek penghimpunan dana dan aktivitas pembiayaan yang disalurkan, bank-bank syariah nasional juga mencatatkan pengembangan kelembagaan yang cukup signifikan. Ini ditandai dengan ‘kelahiran’ para pemain baru di industri bisnis perkembangan syariah nasional, baik berupa Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Selama tahun 2010, jumlah Bank Umum Syariah bertambah 6dengan diterbitkannya izin usaha 5 BUS yaitu PT Bank Victoria Syariah, PT Bank BCA Syariah, PT Bank Jabar Banten Syariah, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Maybank Syariah Indonesia. Dari 5 izin BUS baru tersebut 3 diantaranya adalah izin konversi (perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah) dan 2 lainnya adalah izin BUS hasil spin-off (pemisahan). Izin konversi diberikan kepada PT Bank Victoria Syariah (semula adalah PT Bank Swaguna), PT Bank BCA Syariah (semula adalah PT Bank UIB) dan PT Bank Maybank Syariah Indonesia (semula adalah PT Bank Maybank Indocorp), sedangkan izin usaha BUS hasil spin-off diberikan kepada PT Bank Jabar Banten Syariah dan PT Bank BNI Syariah.
Kinerja industri perbankan dan keuangan syariah yang menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang meningkat sepanjang tahun 2010 tidak terlepas dari dukungan regulator dan kreativitas industri dalam menawarkan produk kepada nasabah. Dukungan regulator misalnya bisa terlihat pada pengaturan perpajakan yang lebih kondusif (UU No.42 tahun 2009 tentang PPN), peningkatan credit rating Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi di tingkat global, pendirian bank-bank syariah baru, serta semakin gencarnya program edukasi dan diseminasi
perbankan syariah oleh Bank Indonesia, perbankan syariah, maupun pihak-pihak terkait
lainnya.
Alhasil, pertumbuhan industri perbankan dan keuangan syariah sepanjang tahun 2010 yang cukup membanggakan selayaknya terus dipertahankan pada tahun-tahun selanjutnya. Keberpihakan pemerintah dan Bank Indonesia sebagai regulator, disamping kerja keras industri dalam mengembangkan bisnis merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam pengembangan industri perbankan dan keuangan alternatif ini. Sehingga manfaatnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional makin optimal. (Zaenal Muttaqin)

Penulis adalah pewarta media

Kamis, 16 September 2010

Agar Tak Terus Disalip Tetangga

INDUSTRI perbankan syariah telah hadir di industri perbankan nasional sejak 1993 lalu dengan ditandai kelahiran PT Bank Muamalat Indonesia. Dengan demikian, hampir dua dasawarsa, industri ini menjadi diferensiasi atas sistem perbankan yang sudah ada.
Dengan asumsi penduduk muslim yang cukup mendominasi total populasi tanah air, sejatinya bank-bank syariah menjadi leader dalam memberikan alternatif transaksi perbankan. Alih-alih demikian, hingga saat ini pangsa pasar industri ini pun masih sangat minim, tak lebih dari 3%.
Ini tentunya menjadi satu hal yang sangat disayangkan. Bila menggunakan persektif populasi Muslim, Malaysia yang saat ini memiliki porsi populasi Muslim yang tak lebih banyak dibanding Indonesia, mampu menjadi leader dalam menawarkan sistem perbankan, bahkan cukup diperhitungkan di pasar keuangan dan perbankan syariah global.
Lantas apa yang kurang dari industri perbankan syariah domestik? Apakah masih cukup mengandalkan pada upaya industri sendiri, atau diperlukan semacam asset convertion dari konvensional ke syariah dengan melibatkan stakeholder pemerintahan sehingga pangsa pasar industri perbankan syariah lebih terdongkrak?
Terkait itu, Seputar Indonesia mewawancarai Ketua Umum Asosiasi Bank-Bank Islam Indonesia (Asbisindo) Riawan Amin sebagai individu yang cukup banyak berpengalaman mengembangkan industry perbankan syariah domestik. Berikut petikannya;

Bisa anda berikan gambaran tentang perkembangan industri perbankan syariah dalam setahun terakhir dan setahun yang akan datang?

Mengacu pada data industri perbankan syariah dalam negeri secara tahunan (Yoy) dari Bank Indonesia per November 2009 lalu, profit bank syariah naik hampir`100%. Artinya, krisis ekonomi dan moneter global tidak mampir ke Indonesia, dengan dibuktikan pertumbuhan GDP yang positif yakni 4,3% bersama-sama dengan China dan India. Lebih, spesifik lagi, krisis tidak mampir pada industri perbankan syariah dengan bukti masih adanya profit yang cukup besar. Jadi syukur alhamdulillah.
Lalu di 2010, saya pikir kondisinya akan lebih stabil lagi. Apalagi kita melihat ada suatu sinyal yang sangat positif dari Gubernur Bank Indonesia dan jajarannya, yaitu disosialisasikannya empat kebijakan pokok Bank Indonesia di 2010. Dari empat tadi, dua hal pertama adalah hal klasik karena dari dulunya juga begitu, yaitu pertama meningkatkan resiliensi sistem perbankan nasional dan kedua adalah meningkatkan intermediasi perbankan. Ketiga adalah meningkatkan peran dan ketahanan perbankan syariah dalam negeri. sedang keempat berkaitan dengan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat.
Nah secara sepintas, saya melihat bahwa yang nomor tiga dan empat, kalau itu dijalankan dengan betul-betul serius dan massif dengan cara memadai, maka poin pertama dan kedua akan terdukung. Sebab kalau kita lihat, syariah itu memiliki cirri-ciri misalnya, real sector based atau berpihak kepada sektor riil. Kemudian, transaksinya aman. Nah BPR adalah grass root masyarakat, sehingga menyebabkan penyebaran kemakmuran yang lebih merata. Jadi bila nomor kedua dan ketiga direalisasikan dengan benar-benar, yakni resiliensi perbankan dan intermediasi, otomatis (perbankan syariah) akan terdukung.
Tapi bahwa masuknya perbankan syariah dan pengembangannya menjadi satu dalam empat kebijakan pokok Bank Indonesia, sekali lagi kita harus bersyukur. Yang kita harapkan, ini bukan hanya kebijakan pada level atas saja. Kita berharap implementasinya juga dijalankan dengan baik oleh orang-orang yang terkait langsung di Bank Indonesia terhadap pengembangan hal-hal ini.

Bagaimana dengan pembebasan pajak berganda April nanti?

Begini, apa yang terjadi pada April 2010 nanti, bahwa akan ada pembebasan PPN Murabahah, sifatnya belum mendorong. Itu sifatnya baru menghilangkan masalah. Bahkan, itu pun tidak 100% menyebabkan masalahnya hilang. Karena masih ada ketidakjelasan tentang bagaimana status PPN Murabahah yang terbentuk sebelum April 2010. Sebab bank syariah itu terbentuk sekitar tahun 1993-an. Dan kalau tidak berlaku surut, maka sama saja akan menimbulkan gangguan pada bank-bank syariah yang sudah ada. Itu hanya menguntungkan bagi yang baru-baru, tetapi sangat mengganggu bagi yang sudah berjalan. Jadi masih ada masalah yang harus diselesaikan, dan kembali lagi, apa yang terjadi dengan segala kesyukuran, itu baru bersifat menghilangkan masalah. Belum menjadi faktor pendorong.
Kita belum masuk ke dalam step atau tatanan seperti yang terjadi di Malaysia. Di Malaysia, pemerintahnya sudah masuk kepada tahap pemberian insentif kepada industri perbankan syariah. Bukan sekedar menghilangkan masalah. Kalau menghilangkan masalah, Malaysia sudah melakukannya sejak lama, sejak dulu-dulu.

Lalu, lebih spesifik ke soal pangsa pasar. Sebelumnya kan, pangsa pasar perbankan syariah pernah ditarget tercapai 5%, bagaimana penjelasan anda?

Pertama sebelum menjawab itu, kita harus meluruskan paradigma yang berkembang selama ini terlebih dulu. Apakah target itu 5%, atau 50%, atau bahkan 75%, tentunya kan harus mempunyai dasar yang jelas. Sebetulnya pertanyaannya, kenapa hanya 5%? Padahal kalau dilihat dari komposisi penduduk muslim saja kan 80-90% dari total jumlah penduduk. Dilihat dari tingkat keimanannya, semua orang Indonesia itu masyarakat beragama. Kenapa? Karena angka 5% itu muncul dari paradigma yang bersandar pada mekanisme pasar. Sehingga, dengan kondisi bank syariah yang masih sedikit, masih kecil, maka target pangsa pasar syariah sebesar 5% kemarin itu sudah dianggap sebagai sebuah target yang berani dan luar biasa. Secara logika bisnis, yang pantas itu cuma segitu. Nah, ini yang harus diluruskan.
Dan yang selalu muncul (dipersalahkan menyebabkankan kegagalan) adalah logika pasar, sumber daya insansi enggak cukup, kompetensi gak cukup, layanan kurang bagus, modal tidak banyak dan sebagainya. Logika pasar sebetulnya, hanya pantas diungkapkan pasar, tidak pantas disebutkan oleh regulator atau pemerintah. Yang namanya regulator atau pemerintah, seharusnya adalah, (mengatur bahwa) perbankan syariah sudah prudent, memiliki track record yang baik, sudah mampu menarik banyak pihak di dalam dan luar negeri, mempunyai prospek di masa depan. Maka saya misalnya, selaku pemerintah, menjadikan ini targetnya 5% atau 10%. Artinya, bukan mekanisme pasar, tapi determinasi dalam melakukan sesuatu secara top down dan mission driven. Nah itu yang penting. Mengapa demikian? Karena itulah tugas negara, memilih mana yang baik dan membesarkannya.
Bagaimana cara membesarkannya? Seperti yang saya katakan tadi, dari empat kebijakan BI, salah satunya adalah peningkatan peran perbankan syariah dan ketahanannya. Peningkatan peran, artinya memperbesar peran itu tidak terlepas dari market size dan market share. Peningkatan ketahanan artinya prudential banking, harus berhati-hati. Boleh membesarkannya, tapi jangan sampai mengganggu ketahanannya.

Tawarannya?

Lakukan Asset convertion policy. Ini adalah jalan paling logis untuk membesarkan tanpa membuat perbankan syariah tidak malah menjadi tidak prudent, yaitu dengan memfokuskan pengembangannya, bukan dengan menggelembungkan bank syariah yang sudah ada. Caranya, mensyariahkan bank konvensional yang ada. Kalau dia mau membesar boleh, asal jangan dipaksa diperbesar, Mekanismenya bagaimana, syariahkan bank konvensional yang ada. Bagaimana mensyariahkannya? Di Kebijakan Bank Indonesia tahun 2010, ada insentif kompetensi SDM, insentif untuk peningkatan modal, dan insentif peningkatan Unit-usaha syariah (UUS). Kalau saya simple saja, kalau semua sudah masuk seperti itu, buat saya jelas, 2010 semua bank di Indonesia sudah harus mempunyai UUS. Bisa gak kita targetkan seperti itu? Kalau namanya pemerintah, regulator, mestinya bisa dong. Masa diserahkan kepada pasar?
Jadi, pertama, semua bank sudah harus punya UUS. Kedua, bank-bank BUMN, buat asset convertion plan lima tahun ke depan. Kita tidak bermaksud mengganggu BUMN tersebut, tidak bermaksud mengkerdilkannya. Kita tidak bermaksud mengganggu keuntungannya, yang kita minta cuma carilah keuntungan yang halal. Bagaimana caranya? Ya asset convertion plan tadi. Berapa puluh persen asset anda disyariahkan tahun ini, dilakukan bertahap dalam lima tahun ke depan.
Nah, ini berbeda kalau kita memaksa institusi kecil, ditekan-tekan supaya membesar. Itu tidak alamiah dan terlalu beresiko terhadap ketahanan bank tersebut. Bisa macet semua pembiayaannya. Lain kalau dengan mengkonversi. Pembiayaannya sudah ada, sekarang dilakukan halalisasi atau syariahisasi atas asset-aset yang sudah ada. Lebih mudah kan? Tidak beresiko kan? Maka sebetulnya target pangsa pasar 5% itu akan terlihat sebagai sebuah guyonan yang sangat tidak lucu. Masa hanya 5%. Kalau saja asset Bank Mandiri sebesar 20% yang dikonversi saja, sudah berapa pangsa pasarnya. Pangsa pasar 5% itu langsung lewat. Saya kira secara teknis tidak terlalu sulit.

Outputnya akan seberapa besar?
Coba cari datanya. Asset perbankan BUMN berapa? Kalau total kan Rp2.500 triliun, BNI berapa asetnya? BTN dan BRI juga berapa? Mandiri? Nah, keempat bank BUMN ini sekurang-kurangnya menguasai 40% pangsa asset perbankan nasional. Jadi kalau 20% dari 40% saja, itu sudah berapa. Atau katakanlah 25% convertion asset di tahun pertama, lalu ditambah 2,5% yang sudah existing, maka pangsa pasar perbankan syariah bakal langsung mencapai 12% pangsa pasar bank syariah dalam waktu satu tahun.
Tapi bukankah, bank-bank BUMN sendiri sudah membentuk UUS, bahkan BUS? Ya terserah, itu yang saya katakana tadi, kalau anda masih bergantung pada upaya perbankan syariah yang sudah existing. Tapi sampai kapanpun saya kira sulit tercapai. Sebab kalau anda bicara misalnya 5% pangsa pasar, kan harus diperhatikan rumus pembilang dan penyebut. Pembilangnya bank-bank dan unit-unit usaha syariah, sedang penyebutnya perbankan nasional yang didominasi perbankan konvensional. Jadi kalau yang atas naik, maka yang bawah juga naik. Persentase itu itu baru bisa tercapai kalau yang atas naik dan yang bawah ditahan, atau penyebutnya dikonversi.
Kalau bagi Bank BUMN, bisa saja mengkonversi asetnya, kalau bisa, dipindahkan ke BUS-nya. Itu kan konsolidasi juga. Tinggal maunya. Apa salahnya bila misalnya BNI, (sebagian) asetnya dikonversi menjadi BNI syariah. Sehingga 12% pangsa pasar syariah domestik bisa segera tercapai. Dan 12% itu langsung melonjak, menyusul Malaysia. Malaysia saja yang sudah bertahun-tahun industri perbankan syariahnya, pangsa pasarnya baru 15%-an pangsa pasarnya. Kalau dalam satu tahun pertama misalnya kita bisa 12%, maka Indonesia akan menjadi negara yang sangat luar biasa dalam mendorong industry perbankan syariahnya.

Tadi anda menyebutkan perbanyak UUS, atau bahkan konversikan asset BUMN jadi BUS. Apa kira-kira insentif yang bisa diberikan?

Yang terpenting adalah berikan insentif pengurangan pajak yang berbanding lurus dengan pertumbuhan transaksi syariahnya. Kalau detailnya kan bisa dipikirkan, bahwa pajak badan itu 33% dari total keuntungan, kalau dia bank konvensional, dan transaksi syariahnya zero (nol). Tetapi kalau dia memiliki UUS dengan asetnya 10% daripada induknya, maka pajak badannya bisa dikurangi misalnya 3%. Kalau asset syariahnya mencapai 20% dari total, maka pajak badannya bisa dikurangi 6%. Pasti orang akan berebut kok dalam mendorong transaksi syariah.
Pemberian insentif pajak bukan mengurangi pendapatan negara. Harus digunakan persepektif lain, bahwa mengembangkan perbankan syariah menjadi hal sangat strategis bagi stabilitas perekonomian, menciptakan diferensiasi bagi sistem perbankan nasional Indonesia. Nah itu keuntungannya. Sebab tujuan dari pajak juga kan tidak sekedar mendapatkan uang, melainkan mendorong perilaku yang kita inginkan atau men-discourage agar masyarakat tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk kemudahan perizinan juga. Maka dengan sendirinya, industri perbankan syariah terdongkrak. (Zaenal Muttaqin)

Senin, 16 Agustus 2010

Memberdayakan Ekonomi Umat

BPR Syariah,
KEBERADAAN sejumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tak bisa dipandang sebelah mata. Selain bisa memanfaatkan ceruk bisnis menggiurkan, mereka juga berperan besar menyediakan manfaat ekonomis masyarakat setempat.
Dari sisi ceruk bisnis, BPRS jelas memiliki segmentasi bisnis berupa kelompok nasabah ‘kelas mini’ yang potensial mulai dari pedagang mikro, petani, hingga nelayan. Potensial karena permintaannya tinggi, namun kebermasalahan pinjaman (non performing finance/NPF) terbilang rendah dibanding nasabah ‘kelas berat’ yang dibidik bank-bank kelas kakap.
Dari sisi manfaat, keberadaannya juga jelas menjadi solusi bagi para pelaku ekonomi yang selama ini kesulitan mendapatkan akses pembiayaan bank yang relatif rumit persyaratannya. Hanya menyediakan syarat-syarat yang simpel, mereka bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan BPRS.
Direktur Utama BPRS Suriyah Ahmad Mujahid memaparkannya kepada Seputar Indonesia tentang seluk beluk bisnis yang disasar BPR Syariah. Berikut petikannya;

Apa sebetulnya yang memotivasi kehadiran BPR Syariah?

Secara ekternal, ada dua. Pertama, mayoritas masyarakat kita di dalam negeri adalah muslim. Kedua, tentunya masyarakat muslim juga ingin bertransaksi secara syariah dalam menjalankan transaksi keuangan dan perbankan.
Secara internal, pemegang saham juga ingin memfasilitasi masyarakat Islam yang ingin bertransaksi secara syariah, makanya dibentuklah BPRS Suriah dengan modal awal yang cukup terjangkau waktu itu Rp1 miliar. Prinsipnya, kami ingin melayani kebutuhan pembiayaan masyarakat yang selama ini sulit mengakses pembiayaan bank dengan skala menengah besar. Kedua, kami ingin menghindarkan transaksi ribawi (berbasis riba) dari masyarakat.
Sebagian masyarakat muslim yang memahami, transaksi yang keuangan perbankan sekarang bisa dikategorikan masih syubhat (samar-samar kebolehannya). Namun karena dulu atau di daerah-daerah banyak yang belum tersentuh bank syariah, maka terpaksa mereka gunakan itu (bank konvensional). Untuk mengurangi keterpaksaaan semacam itu, maka kita dirikan bank syariah.

Kalau sekedar berbasis syariah, bukannya sekarang masyarakat juga bisa mengakses pembiayaan dan simpanan di bank umum syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) suatu bank?

Kami menyasar segmen nasabah kecil mikro. Kami tidak mengatakan menengah. Itulah yang menjadi pangsa pasar kami, BPR Syariah. Perlu diketahui, karakteristik pengusaha kecil mikro, maunya cepat tanpa harus syarat yang ribet. Mereka cukup datang bawa persyaratan, disurvei, sehari dua hari clear, sudah ada keputusan bisa atau tidaknya. Paling lambat satu minggu. Kalau bank umum kan lain, harus mengikuti ketentuan prosedural yang cukup panjang. Tidak cukup seminggu.
Kenapa mereka butuh cepat, karena perputaran penggunaan modalnya juga relative cepat. Pedagang sayuran misalnya, beli dagangan pagi, siang atau paling lambat sore hari pasti sudah habis. Itulah pangsa pasar kami, kecil.

Seperti apa saja profil nasabahnya?

Biasanya nasabah meruakan pedagang kecil yang butuh modal, sesuai kebutuhan permodalan usahanya yang tidak begitu besar. Bagi kami prinsipnya, bisa membantu mereka dalam mengakses permodalan daripada harus ke rentenir. Kita jadinya bersalah. Makanya kita kasih, tanpa jaminan. Asal jelas kepatutan, tempat tinggal, dan orangnya.
Kayak pedagang sayuran yang didorong, modalnya kan pasti enggak sampai Rp2,5 juta. Warung-warung kayak di Ciamis – Cilacap, kan modalnya tidak sampai belas puluhan juta. Sementara bank umum kan enggak mungkin masuk ke pasar seperti itu. Ribet, lebih baik ngurusin yang Rp1 miliar.
Hampir sebagian besar atau 50% nasabah kami merupakan pedagang, mulai dari pedagang pakaian, sembako, sayuran, kelontong. Tapi yang banyak sembako dan pakaian yang di pasar-pasar, bukan mall atau di Jalan Kemang (Jakarta selatan). Sebagian lagi nasabah di bidang pertanian atau pedagang hasil pertanian sekitar 20%. Industri Kecil Menengah 10% karena industry kecil di Cilacap jarang. Memang ada industry jamu, tapi kami belum mau menyasar karena belum jelas status halal-haramnya, terutama menyangkut dugaan penggunaan bahan kimia. Sisanya konsumtif sebesar 20%, terutama kalangan pegawai swasta.

Berapa rata-rata pembiayaan yang diberikan?

Sesuai penyebutannya mikro, maka rata-rata pinjaman kreditnya Rp50 juta ke bawah, memang ada juga yang Rp100 juta, tapi itu sangat minoritas. Memang ada batas maksimum pinjaman sesuat BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) –nya, atau sesuai dengan permodalan banknya. Tapi kan masih jarang.
Sebagai perbandingan, kalau BPR konvensional , batas maksimum kan 30%. Tapi kalau BPRS, karena belum ada aturannya, maka kita masih gunakan ketentuan lama 20% dari permodalan. Walau secara UU Nomor 21 tentang Perbankan Syariah 30%, tapi Peraturan BI-nya belum keluar, jadi masih gunakan 20%.
Untuk itu, seperti BPR Syariah di tempat kami, BPMK-nya kan Rp380 juta. Tapi saya belum pernah kasih kredit pembiayaan sebesar itu. Karena kalau sudah sebesar itu, pangsa pasarnya bank umum. Paling tinggi kita kasih kredit pembiayaan Rp250 juta ke bawah. Bahkan kami paling banyak kasih kredit Rp2,5 juta saja.

Apa saja produk-produk yang ditawarkan bagi nasabah?

Beragam, mulai dari murabahah hingga ijaroh. Terbanyak, nasabah memanfaatkan murabahah. Sekitar 50-60% yang memanfaatan transaksi murabahah ini. ada juga yang memanfaatkan transaksi dengan akad musyarakah mudharabah 25% dan ijaroh 20%, sisanya qardh. Musyarakah mudharabah biasanya untuk modal usaha konstruksi skala kecil, rata-rata hingga Rp200 juta. Sedang ijaroh biasanya untuk biaya sewa tempat atau gedung dan biaya tenaga kerja.
Kenapa banyak yang memanfaatkan transaksi murabahah, kemungkinan masyarakat inigin bertransaksi secara syariah, tapi paradigmanya masih mengacu ke sistem konvensional. Memang sudah ada kemajuan dimana sebagian lagi sudah mulai menggunakan akad musyarakah mudharabah
Dengan pasar seperti itu, bagaimana pertumbuhan kinerja BPRS Suriah sendiri?
Rata-rata, selama lima tahun sejak kami berdiri, kinerja mencatatkan pertumbuhan yang meningkat cukup signifikan. Pada tahun 2009 misalnya, kami mencatatkan tingkat pertumbuhan pembiayaan hingga 40%. Ada penurunan sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya 50-60%.

Kenapa?

Saya enggak tahu, mungkin salah satu faktornya adalah banyaknya bank umum yang ikut masuk ke segmen mikro. Tahun 2009 kan ada Mega Mitra dari Bank Mega Syariah dan BTPN. Pangsa pasar yang diambilnya sama persis dengan kita, mikro kecil. Bahkan mereka menawarkan pinjaman pembiayaan Rp50 juta tanpa jaminan. Meski sebetulnya, harga biaya pinjamannya tetap lebih mahal daripada kami. Sebab kalau diekuivalenkan, biayanya bisa dua kali lipat di atas kita. Kalau biaya di DSP BTPN 46% per tahun, maka flat-nya 24% per bulan. Kan jauh lebih tinggi dibanding kami.

Lalu, berapa nominal pembiayannya?

Tahun 2009 saja Rp17 miliar dengan posisi asset kita Rp19 miliar. Tahun ini kita menargetkan pembiayaan yang disalurkan bisa meningkat hingga Rp27 miliar. Ada semangat baru untuk bisa merealisasikan penyaluran pinjaman sebesar itu.

DPK-nya bagaimana?

Kalau diibaratkan, kita ini kan mikrolet. Muter-muter-nya hanya dalam satu kota. Tapi kalau yang namanya BUS (Bank Umum Syariah) kan bus, muternya bisa antar provinsi. Pertumbuhan DPK kita tahun 2009 hanya 30%, turun dari tren tahun-tahun sebelumnya 40% ke atas.
Mungkin juga karena kita harus bersaing dengan bank-bank umum syariah yang lebih mapan dalam dukungan teknologinya. Sementara di saat yang sama, masyarakat juga kan sudah mulai melek teknologi, kemudahan bertransaksi lewat handphone dan ATM. Lha kita kan tidak punya seperti itu. Mau ikut link ke ATM Bersama, bayarnya mahal.
Secara teknis, sebetulnya kami bisa, software teman-teman BPR Syariah saya yakin bisa untuk itu, Insya Allah. Melingkar di ATM Bersama. Cuma memang kami kan enggak kuat bayarnya. Kabarnya untuk jadi member-nya saja Rp150 jutaan per tahun. belum lagi biaya jaminan dan komunikasi.

Berapa nominalnya?

Dilihat dari sisi nominal, total tabungan dan deposito yang bisa kami kumpulkan hingga akhir Desember 2009 kurang lebih Rp13 miliar. Tapi itu belum termasuk dana dari linkage program dengan tiga bank umum syariah, yakni Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, dan BTN Syariah. Dari linkage program, kita bisa mendapatkan dana Rp5,6 miliar. Jadi kalau dihitung total plus modal Rp18,6 miliar. Makanya tadi asset kami saat ini Rp19,9 miliar, hampir Rp20 miliar.

Bagaimana dengan kredit bermasalah (NPF)?

NPF kita per 2009 2,9%. Jadi masih cukup rendah. Karena mayoritas pedagang nasabahnya, mungkin risiko usaha. Agak sedikit naik sebetulnya 0,2% dari NPF tahun 2008 2,7%.

Faktornya?

Biasanya kalau usaha kecil macam-macam problemnya. Tipikal usaha mikro kecil itu kan biasanya tidak bisa memisahkan uang usaha dengan uang keluarga. Jadi istilahnya uang usaha, tapi kalau ada kebutuhan untuk biaya dapur atau biaya sekolah anak-anaknya, digunakan dulu ke situ. Ini menyebabkan usahanya terganggu. Bila seperti itu, maka omzetnya bisa menurun. Bila omzet turun, maka pembiayaan kita juga terimbas.
Jadi kalau faktor NPF di usaha kecil mikro ini bukan masalah krisis, tapi lebih karena tidak bisa memisahkan antara mana uang keluarga dan usaha. Kalau ada krisis (ekonomi), enggak terlalu. Dikatakan krisis, bila misalnya anak-anaknya butuh biaya sekolah, musiman. Kalau musim masuk sekolah, ya meningkat NPF-nya. Itu banyak.

Bagaimana mengatasinya?

Kita lihat dulu masalahnya. Kalau masalahnya seperti karena kebutuhan biaya sekolah, biasanya kita rescheduling karena kemampuan dia sedang menurun atau dia hanya harus mengangsur dalam nominal yang sudah disepakati sesuai kemampuannya. Lamanya, juga tergantung tergantung kepada kemampuan dia. Kalau di BPRS kan tidak dikenal istilah denda.
Lalu, bagaimana kita bisa melihat seberapa besar kemampuannya? Itu bisa dilihat dari sisa kewajiban utangnya dibagi dengan kemampuan dia, itulah masa perpanjangannya. Misalnya sisa piutangnya Rp10 juta, lalu kemampuan membayarnya Rp500 ribu dari normalnya Rp1 juta, ya Rp10 juta dibagi Rp500 ribu. Jadi reschedulingnya selama 10 bulan, dari harusna 10 bulan saja.
Kalau sampai eksekusi, biasanya karena orangnya yang bermasalah, bukan karena akibat penurunan kemampuan, orangnya yang membohongi. Kalau penurunan kemampuan kan masih ada kemauan untuk membayar. Kalau di BPRS, yang utama adalah yang dinilai mampu dan mau. Kalau bank umum bisa macem-macem. Makanya kita bisa tiga hari cair. Tapi hingga saat ini, kami belum pernah melakukan eksekusi.

Tadi anda sebutkan masuknya bank-bank umum syariah ke segmen mikro menjadi tantangan bagi pengembangan BPR Syariah sendiri. Dimana letaknya?

Kendala kita adalah di sisi jaminan. Mereka bisa sampai Rp50 juta bisa tanpa jaminan. Kalau kembali kembali kepada harga, masyarakat sebetulnya bisa tidak ke sana karena biayanya juga mahal. Tapi kami yakin masyarakat akan menyadari dan kembali kepada kami dalam 1-2 tahun mendatang. Pengalaman waktu Bank Danamon dulu misalnya, setelah 1-2 tahun banyak nasabah yang kembali lagi setelah menyadari harganya lebih mahal.

Tapi tentu tidak bisa menunggu waktu hingga selama itu, apa strategi BPRS Syuriah mempertahankan nasabah?

Kalau kita biasanya sejak awal sudah dibangun kemitraan antara bank dan nasabah, bukan bank dan debitur, sehingga akhirnya mencul sikap kekeluargaan. Melalui pendekatan ini biasanya nasabah-nasabah menjadi loyal, tidak diimingi-imingi pun mereka tidak berpindah ke lain hati.

Ada rencana untuk melebarkan jaring bisnis, membuka kantor cabang?

Iya, rencananya kita akan buka cabang di Semarang. Insya Allah dalam semester ini. Ini juga sesuai kesepatan para pemegang saham yang menginginkan pengembangan jaringan ke daerah ini. Terlebih para pemegang saham juga memiliki jaringan usaha di Jakarta dan Semarang sehingga bisa saling mendukung. Tapi kan sesuai aturan, kita hanya bisa buka di satu provinsi, makanya kita buka di Semarang.
Secara bisnis, ini juga untuk menjaga peluang kami di captive market di Semarang, yakni melakukan penghimpunan dana. Di kota Semarang kan arus nilai modal yang berputar relatif lebih besar jumlahnya dibanding di Cilacap. Sehingga secara ekonomi, itu lebih menjanjikan.
Selain itu, pangsa pasar pembiayaan sektor mikro kecilnya juga relatif cukup banyak banyak di banding Cilacap misalnya. Ada banyak orang yang memiliki uang, yang butuh juga banyak. Jadi klop lah dengan peran kami dalam menyalurkan pembiayaan.

Kalau kantor kas selama ini sudah berapa unit?

Di Cilacap kita sudah bentuk empat kantor kas (payment point) untuk menyasar di Majenang, Sidareja, Kroya, dan Rumah Sakit Islam Fatimah. Total nasabah yang sudah bisa kita himpun lebih kurang 3.600 orang nasabah.
Selain itu, nasabah kami tidak terbatas pada muslim saja. Seluruh masyarakat juga bisa menjadi nasabah dan mengajukan pembiayaan dari kami. Ada banyak nasabah non muslim yang saat ini menyimpan deposito dan mendapat pembiayaan dari kami. Harapannya, kami bisa memberikan pembiayaan secara lebih luas.

Dalam pengembangannya, bagaimana dengan dukungan pemerintah selama ini?

BPR-BPRS kan kelasnya biasanya di daerah. Jadi dukungannya barangkali semenstinya dari pemerintah daerah setempat sendiri. Di beberapa kabupaten seperti di Kabupaten Purbalingga itu, pemerintah daerah sudah sangat mendukung. Sehingga pada program-program pemerintah sekalipun diikutkan. Beberapa pemerintah daerah bahkan sudah ada yang menjadi pemilik saham terbesar BPRS di daerah masing-masing. Tapi tidak sedikit pemerintah daerah yang belum memberikan dukungan secara optimal.

Apa mimpi anda dengan BPR Syariah Suriah?

Mimpi saya mimpi lokal. Kami ingin, BPRS kami bisa melayani kebutuhan masyarakat setempat. Jadi mimpi saya, hampir semua kecamatan di Cilacap bisa memiliki kantor cabang. Menyentuh ke pelosok-pelosok. Sehingga masyarakat-masyarakat di daerah ini pun bisa tersentuh manfaat yang bisa kami berikan, dan mereka pun menjadi lebih berdaya secara ekonomi. (Zaenal Muttaqin)

Jumat, 16 Juli 2010

Meski Tumbuh Tinggi, Pemanfaatan Pasar Belum Maksimal

PERBANKAN syariah global mesti lebih mengkreasikan produk dan jasa keuangannya ke depan. Sebab hingga saat ini berbagai lembaga keuangan dan perbankan syariah belum banyak menggali prospek keuangan dan peluang investasi yang tersedia meski mencatatkan pertumbuhan signifikan selama ini.
Chief Executive Officer of Mawarid Financeand Al Jazeera Financial Services Mohamed Musabbeh Al Neaimi mengungkapkan, industry perbankan syariah memiliki peluang tumbuh lebih besar dengan ketersediaan pasar yang cukup luas. “Namun karena hanya menyediakan produk perbankan tradisional dalam sistem syariah, tidak menyebabkan kita bisa menempati posisi terdepan,” tuturnya.
Al Neaimi berpendapat, industry perbankan syariah global masih akan selalu di posisi kedua setelah perbankan konvensional bila masih menumpukan ekspansi pasarnya pada produk dan jasa keuangan tradisional. Karena itu, jelas dia, perbankan syariah sudah harus memikirkan penerbitan produk dan jasa keuangan yang lebih, sesuai tuntutan kebutuhan transaksi keuangan masyarakat global.
“Perbankan syariah perlu mengambil langkah lebih jauh dengan pendekatan futuristik dan ide-ide inovatif,” tutur Al Neaimi.
Menurut Al Neaimi, perbankan syariah global memiliki prospek lumayan besar dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah terus meningkat, terutama setelah adanya pengalaman kegagalan bank-bank konvensional dalam menghadapi resiko sistem keuangan. Ini, jelasnya, menjadi ruang yang bisa dimanfaatkan bank-bank syariah global.
Baru-baru ini, Standard & Poor's Ratings Services dalam laporannya memprkoyeksikan sistem keuangan syariah optimistik untuk mencatatkan pertumbuhan lebih baik di tahun ini dan tahun-tahun mendatang. “Ketika banyak dari sistem keuangan dunia harus bekerja keras di tengah gejolak pasar modal dan menyebar ke ekonomi di seluruh dunia, pertumbuhan keuangan Islam masih tetap kuat dan berpotensi tumbuh lebih cepat selama tahun depan,” jelasnya.
Meski hadir lebih belakangan dibanding bank-bank konvensional dalam menyediakan alternative sistem keuangan masyarakat global, sambungnya, namun itu tak berarti perbankan syariah tak memiliki peluang pasar yang besar. Menurutnya, sistem dan kelembagaan keuangan Islam telah memenangkan kepercayaan dari kalangan investor yang menuntut kepercayaan dan transparansi.
Diketahui, industry perbankan konvensional sudah mulai lebih dari 700 tahun yang lalu. Sementara perbankan syariah dengan tampilan produk dan jasa layanan yang modern sebagai sebuah bank komersial, Dubai Islamic Bank baru dibuka pada tahun 1975. Jauh lebih lambat dibanding kehadiran bank konvensional yang sudah settle di pasar.
Pertumbuhan yang cukup tinggi dalam beberapa dasawarsa terakhir membuktikan kemampuan perbankan syariah dalam beberapa dasawarsa terakhir. Mengutip data Standard & Poor misalnya, aset dari bank-bank Islam 500 terbaik mencatatkan pertumbuhan sebesar 28,6% menjadi total USD822 miliar sepanjang tahun 2009 dari USD639 miliar pada tahun 2008.
Lebih jauh, Al Naeimai meminta agar bankir-bankir syariah juga bisa duduk bersama dengan kalangan bankir konvensional, konselor, dan penasihat keuangan global dalam rangka identifkasi dan pencarian solusi pengembangan sistem keuangan syariah global ke depan. “Apa hanya kita butuhkan adalah untuk mencari tahu, sebab saya memiliki kepercayaan bahwa sistem keuangan syariah berlaku untuk semua orang dan setiap waktu,” paparnya.
JP Morgan's Bahrain-based Islamic Structuring Head Safdar Alam mengatakan, industry keuangan syariah global juga perlu kembali kepada akar-akar menyusul krisis keuangan global yang dipercaya tetap mempengaruhi perkembangan sistem keuangan syariah. Ini bisa dilakukan dengan kembali menegaskan identitas dirinya yang berbeda dengan sistem keuangan dan perbankan konvensional pada umumnya.
Safdar mengatakan, dorongan untuk reformasi pada sistem keuangan syariah adalah kenyataan dimana seiring krisis keuangan dunia, anak usaha Dubai World, Nakheel alami gagal bayar (default) utang sukuk yang jatuh tempo senilai USD4,1 miliar. Menurutnya, ini penting dilakukan bagi keberlanjutan sistem keuangan syariah, meski pada akhirnya utang itu pun berhasil dilunasi pada Desember lalu setelah otoritas Abu Dhabi memberikan bantuan sebelum batas waktu rescheduling tiba.
Safdar mengakui, reformasi dengan keharusan untuk kembali kepada ‘akar’ berpotensi menyebabkan kekuatiran industri bisa menjauhkan kalangan investor. Banyak bankir takut reformasi radikal terhadap industri dapat membuat produk yang ditawarkan menjadi kurang menarik di mata investor yang enggan mengambil risiko dan ketidakpastian segar di bangun dari krisis. “Itu akan menantang pada awalnya,” ucapnya.
Pada kesempatan terpisah, Head of Economics and Governance Department International Centre for Education in Islamic Finance (INCEIF) Syed Abdul Hamid Al Junid mengungkapkan optimismenya bahwa sistem keuangan dan perbankan syariah akan tumbuh lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang. Ini terutama seiring kesadaran masyarakat bahwa sistem keuangan ini menjanjikan berbagai keunggulan dibanding sistem keuangan dan perbankan konvensional.
“Keistimewaan pertumbuhan dan perkembangan sistem keuangan dan perbankan Syariah adalah didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan etika untuk mengekang hal-hal seperti keserakahan,” sebutnya.
Al Junid mengatakan, sistem keuangan dan perbankan syariah didasarkan pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan finansial konsumen dengan menekankan prinsip keadilan, dapat dipercaya, sambil memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil. Menurutnya, sistem ini juga menekankan prinsip-prinsip integritas, transparansi, keadilan dan sistem pengelolaan yang baik. (Zaenal Muttaqin)

Rabu, 30 Juni 2010

Agar Bank Juga 'Jemput Bola'

PERBANKAN syariah dalam negeri semestinya berpartisipasi serius dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) syariah di berbagai perguruan tinggi. Dunia pendidikan tak bisa sendirian dalam mencetak SDM Syariah yang makin banyak diminati pasar.
Mengutip analisis Ketua Program Islamic Economic Finance Universitas Trisakti, Sofyan Syafri Harahap, perbankan syariah dalam negeri relatif masih belum berperan aktif dalam mendorong pengembangan SDM syariah. Padahal, setiap tahun perbankan selalu mengeluhkan minimnya SDM syariah berkualitas yang mereka butuhkan guna menopang kinerja bisnisnya. Dalam bahasa Sofyan, bank-bank syariah belum ada yang melakukan ‘jemput bola’ dalam mengembangkan SDM syariah, misalnya bekerjasama dengan dunia pendidikan yang secara khusus mencetak lulusan SDM syariah.
Seharusnya, Sofyan menyarankan, penyediaan SDM syariah tidak bisa semata-mata ditumpukan kepada dunia pendidikan atau perguruan tinggi pencetak SDM tersebut. Sebab, dengan kapasitas yang dimilikinya, dunia pendidikan akan lebih banyak menyediakan pendidikan secara teoretik lebih besar dibanding aplikatifnya. Sebaliknya, dengan dana dan pengalaman yang mapan, bank-bank bisa men-support perguruan tinggi dalam mencetak SDM Syariah yang siap pakai.
Bila perguruan tinggi dan perbankan Islam masih berjalan sendiri-sendiri, maka kesenjangan antara permintaan SDM Syariah yang siap pakai dengan jumlah lulusan yang tersedia akan terus berlanjut. Perbankan syariah akan terpaksa memanfaatkan SDM-SDM konvensional. Padahal itu artinya, bank-bank juga harus mengalokasikan tambahan cost, baik nominal maupun efisiensi waktu, untuk mendidik SDM-SDM Syariah baru.
Akibat perbankan syariah yang terkesan ‘membiarkan’ perguruan tinggi Islam Negeri/Swasta sendirian mencetak SDM syariah dalam memenuhi kebutuhan pasar, tak heran ribuan sarjana ekonomi syariah dari berbagai perguruan tinggi Islam per tahun banyak yang masih ‘menganggur’. Sebab, perguruan tinggi ini lebih banyak menekankan di sisi pendalaman ekonomi secara teoretik dan sedikit aplikatifnya.
Di sisi pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, bisa memberikan keleluasaan dan dorongan bagi perguruan tinggi negeri umum untuk mendirikan –minimal-jurusan ekonomi syariah. Dengan pengalaman pengajaran ekonomi konvensional, perguruan tinggi ini diharap bisa ikut menutup kebutuhan SDM Syariah siap pakai yang terus meningkat saat ini.
Saat ini, sejumlah perguruan tinggi umum sudah berupaya menutup kebutuhan tersebut dengan membentuk unit-unit konsentrasi ekonomi dan keuangan syariah. Namun karena sifatnya konsentrasi, maka unit-unit ini pun memiliki keterbatasan dalam mencetak SDM syariah dengan jumlah dan standar yang dibutuhkan pasar syariah dalam negeri.
Kepala Penelitian Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Dhani Gunawan Idhat sebelumnya mengatakan, salah satu tantangan industry keuangan dan perbankan syariah saat ini dan mendatang adalah kekurangan SDM Syariah siap pakai. Menurutnya, kualitas SDM syariah lulusan berbagai perguruan tinggi dalam negeri cenderung memiliki kelemahan di sisi aplikatif, meski unggul secara teoretik.
Dalam hitungan Dhani, tak kurang dari 52 universitas di Indonesia yang menyediakan konsentrasi ekonomi dan perbankan syariah. Sayang, kurikulum yang diajarkan masih terlalu umum, belum spesifik tentang keuangan dan perbankan syariah. Akibatnya, masih banyak lulusan sarjana syariah tidak terserap ‘pasar’ dengan baik.
Barangkali, Indonesia bisa berkaca pada negeri tetangga, Malaysia. Negeri ini, memiliki 7 dari 50-an universitas yang secara khusus menawarkan SDM berbasis syariah dengan standar sarjana siap terjun di tingkat praktis. Pasalnya, pengajaran di Malaysia lebih banyak ditekankan pada teknis pengumpulan dana, penyalurannya, asset and liability management sehingga pada saat kerja mereka mudah teraplikasikan. (Zaenal Muttaqin)

Selasa, 30 Maret 2010

Menjajal Pasar Global

MESKI masih belum cukup diperhitungkan di jajaran pemain industri keuangan dan perbankan syariah global, namun bukan berarti menghalangi sejumlah pemain domestic menyasar berbagai pasar di luar negeri. Meski variasi produk yang ditawarkannya juga terbatas, namun langkah ini layak untuk diapresiasi.
Sebut misalnya, Bank Muamalat Indonesia (BMI). Setelah sukses mengawali ekspansi di negeri jiran Malaysia di tahun 2009, tahun ini BMI siap mengembangkan sayap bisnisnya ke Hong Kong dan Saudi Arabia. Treasury & International Banking Director BMI Farouk Abdullah Alwyni mengatakan pihaknya telah mempersiapkan pengembangan bisnis tersebut.
Berdasar hitung-hitungan bisnis penerimaan deposito, jelas dia, potensi pasar kedua negara sangat besar. Selain masyarakat setempat, banyak warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di kedua negara tersebut. Tentunya, warga negara kita ini membutuhkan fasilitas untuk mengirimkan pendapatannya ke dalam negeri (remittance). Ceruk inilah yang ingin digarap BMI.
Potensi yang cukup besar, contoh Farouk, terlihat dari pasar Malaysia. Diketahui, di negara ini, ribuan warganegara Indonesia tinggal dan bekerja di negeri ini. Meski baru didirikan, namun cabang di BMI di Malaysia cukup berhasil meraup dana-dana masyarakat. Tahun 2009, BMI berhasil menarik deposito dalam mata uang dolar AS sekitar USD30 juta.
Begitu juga pasar di Saudi Arabia. Sama seperti Hong Kong, ribuan warga negara Indonesia tinggal dan bekerja di negara bagian dari kawasan Timur Tengah ini. menyasar mereka, jelasnya, BMI menggandeng bank terbesar negara tersebut yakni National Commercial Bank dengan menawarkan produk remitensi.
Farouk mengakui, varian produk yang ditawarkan belum selengkap seperti yang ditawarkan para pemain industri keuangan dan perbankan syariah dari negara-negara lain seperti Malaysia. Namun seiring perkembangan ke depan, lanjutnya, para pemain lokal juga diharap sudah bisa menawarkan produk yang cukup beragam untuk bisa diakses nasabah.
Lebih daripada sekedar bisnis seperti demikian, lanjut Farouk. Upaya BMI menyasar pasar global dilakukan untuk kepentingan bisnis jangka panjang dimana para pemodal sektor industry keuangan dan perbankan syariah global maupun konvensional bisa menjajdikan industry keuangan dan perbankan syariah lokal sebagai mitra dalam merealisasikan bisnis seperti pembiayaan proyek-proyek besar melalui program sindikasi.
Untuk itulah, lanjut Farouk, tidak hanya mendirikan jejaring kantor cabang operasional di berbagai negara, namun pihaknya juga menjajal kerjasama dengan berbagai lembaga keuangan global. Sebut misalnya Bank Pembangunan Asia (ADB), BMI akan segera merealisasikan kerjasama pembiayaan perdagangan (trade financing). Dengan kerjasama tersebut kita bisa membuka letter of credit lebih luas dan juga dalam rangka pengembangan islamic money market.
Pada November 2009 lalu, BMI menandatangani kerjasama dengan ADB yang menyiapkan dana USD700 juta terkait Program Fasilitasi Pembiayaan Perdagangan (Trade Finance Facilitation Program/TFFP) untuk bank-bank di Indonesia yang bekerja sama dengan ADB. Selain BMI, ADB menjalin kerjasama juga dengan Bank Mandiri.
Selain ADB, BMI juga tengah mempersiapkan kerjasama dengan anak usaha Bank Dunia International Finance Corporation (IFC), Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) dan Islamic Corporation for Insurance of Investments and Export Credits (ICIEC).
Sama seperti BMI, upaya menjajal pasar keuangan perbankan syariah global juga sudah dilakukan PT BNI 46 Syariah. Menurut Kepala Divisi BNI Syariah Rizqullah, seperti disampaikan oleh Planning & Development Group Head BNI Syariah Wahyu Avianto, BNI Syariah ini mengembangkan sayap usahanya dengan membuka kantor cabang BNI Syariah di Hongkong dan Singapura dan outlet-outlet di kantor perwakilan Jeddah, Abu Dhabi, dan Qatar di Timur Tengah. Sasaran utamanya juga adalah warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di kedua negara tersebut.
Di masing-masing wilayah kerja ini, BNI Syariah menawarkan varian produk tabungan syariah yang menghimpun dana pihak ketiga (DPK) tenaga kerja atau warga negara Indonesia yang tinggal di masing-masing negara. Tak hanya itu, rencananya BNI Syariah juga bakal menyasar Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Syariah para tenaga kerja di Indonesia. Dengan layanan tersebut, warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal atau bekerja di Hongkong dapat memiliki rumah di Indonesia secara mencicil tanpa harus pulang terlebih dahulu.
Menurut Rizqullah, pihaknya masih belum berencana melakukan penambahan cabang atau outlet di selain beberapa negara yang sudah dibidik. Menurutnya, pihaknya masih akan melakukan optimalisasi pasar yang sudah ada. Dari sisi kontribusi penerimaan bisnis, diharapkan masing-masing kantor cabang dan outlet BNI syariah bisa tumbuh dua kali lipat dari rata-rata penerimaan deposito masing-masing Rp6 miliar.
Pengamat Perbankan Syariah Ismy Kushartanto mengakui, potensi pasar luar negeri masih cukup besar untuk bisa disasar industri keuangan dan perbankan syariah lokal. Selain remiten, jual beli valuta asing, pembiayaan perdagangan, potensi pembiayaan properti bagi warga negara Indonesia yang lama tinggal dan bekerja di luar negeri juga sangat besar.
Untuk itu, sambungnya, ada baiknya para pemain industry keuangan dan perbankan syariah lokal juga mulai melirik pasar-pasar global. Meski harus berkompetisi dengan perbankan syariah asal negara lain, namun pasar perbankan syariah Indonesia cukup segmented yaitu para tenaga kerja maupun warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di negara-negara tersebut.
Inisiatif sejumlah pelaku industry keungan dan perbankan syariah menjajal pasar global selayaknya diacungi jempol. Selain mendorong penerimaan bisnis, upaya ini juga bisa mendorong mereka ‘belajar’ meningkatkan kualitas dan terbiasa berkompetisi dengan para pemain industry keuangan syariah di pasar global yang lebih luas. (Zaenal Muttaqin)

Senin, 29 Maret 2010

Antara Optimisme dan Kecemasan Implementasi Netralisasi PPN Syariah

Presiden Direktur Karim Business Consulting
Adiwarman Azwar Karim



Implementasi netralisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi murabahah diyakini berdampak positif bagi perkembangan industri perbankan syariah. Sebab, netralisasi memungkinkan industri tak lagi mendapat 'ganjalan' atas penerapan kewajiban yang tak lebih bersifat sebagai pajak ganda (double tax).

Meski demikian, penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah tak serta merta langsung menghilangkan ganjalan yang dirasakan industri. Aturan Undang-Undang PPN dan PPn BM yang mengatur masalah tersebut, hanya mencakup netralisasi pajak per 1 April 2010 dan seterusnya.

Dengan demikian, artinya industri masih harus menyelesaikan kewajiban pajak sebelum UU tersebut diberlakukan. Terlebih sebelum netralisasi diberlakukan, mengutip data Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, jumlah tunggakan PPN Syariah mencapai Rp400 miliar.

Terkait itu, Seputar Indonesia mewawancarai Presiden Direktur Karim Business Consulting Adiwarman Azwar Karim, seorang pakar dan analis ekonomi syariah. Berikut petikan wawancaranya.

Pekan ini, transaksi murabahah dalam industri perbankan syariah akan dinetralisasikan kewajiban PPN-nya sehingga posisinya sama dengan industri perbankan konvensional. Bagaimana tanggapan Anda?

Ini tentu satu hal yang patut disyukuri karena menandai langkah maju pemerintah yang berdampak positif dalam mendorong pengembangan perbankan syariah ke depan. Ini membuat industri bisa tenang kembali, memiliki kepastian dan kenyamanan dalam berusaha. Sebab kita tahu, industri juga sudah mengharap-harapkannya sejak lama.

Indikasi positif dari penerapan kebijakan netralisasi PPN ini adalah banyaknya pendirian bank-bank umum syariah baik melalui akuisisi maupun spin off berbarengan dengan diberlakukannya netralisasi PPN atas transaksi murabahah di sektor perbankan syariah. Ini bukan suatu kebetulan, tapi merupakan peluang yang sengaja dimanfaatkan kalangan investor dalam menyasar pasar perbankan syariah.

Kita ketahui, ada beberapa bank yang siap beroperasi berbarengan dengan penerapan kebijakan tersebut. Sebut misalnya PT Bank Victori Syariah yang siap beroperasi 1 April, PT BCA Syariah pada 7 April. Beberapa lagi segera beroperasi seperti PT BNI Syariah.

Jadi bagaimana dampak jangka pendek maupun panjangnya bagi perkembangan industri perbankan syariah domestik?
Dalam jangka pendek, tentu ini akan memberikan kepastian dan kenyamanan bagi industri perbankan syariah. Sebab dengan begitu, industri tidak dikuatirkan lagi dengan ganjalan pemberlakuan kewajiban perpajakan yang dianggap tidak seharusnya.

Pada jangka menengah, jumlah bank umum syariah (BUS) akan terus bertambah banyak dari saat ini. Seperti sudah saya sebutkan, berbarengan dengan penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah, jumlah BUS yang siap beroperasi saja sudah ada dua sampai tiga BUS mulai dari PT Bank Victoria Syariah, PT BCA Syariah, dan PT BNI Syariah.

Sekali lagi, operasionalisasi BUS-BUS ini bukan semata-mata kebetulan berbarengan. Tapi ini merupakan reaksi atas diterapkannya netralisasi kewajiban perpajakan yang tak seharusnya.

Unit-unit syariah (UUS) dari bank-bank konvensional juga akan semakin yakin dan percaya diri dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Ini artinya, netralisasi PPN atas transaksi murabahah mendorong perkembangan bisnis perbankan syariah, baik organik maupun anorganik. Pada akhirnya, ini melahirkan dampak jangka panjang, pelebaran pangsa pasar keuangan dan perbankan syariah dalam negeri.

Lalu seberapa dalam ini akan mendorong rasio pertumbuhan perbankan syariah sendiri?

Saya belum mengetahui itu. Tapi tentunya, ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi pertumbuhan industri perbankan syariah. Sebab, sekali lagi saya katakan, ini mendorong mereka lebih berani dalam melakukan ekspansi pembiayaan.

Selama ini, industri perbankan syariah terkesan masih ragu-ragu dalam melakukan ekspansi pembiayaan. Salahsatu sebabnya adalah keberadaan ketentuan PPN atas transaksi murabahah yang merupakan mayoritas produk jasa keuangan perbankan syariah.

Apakah ini sudah bisa menjadi insentif?

Belum. Ini sama sekali belum menjadi insentif. Penerapan pembebasan PPN atas transaksi murabahah baru merupakan equalisasi antara platform perbankan syariah dan perbankan konvensional.

Bila ingin disebut sebagai insentif, mungkin pemerintah bisa merealisasikannya dalam bentuk lain. Kalau ini, masih merupakan netralisasi atau equalisasi antara perbankan syariah dan konvensional.

Bila kita komparasikan dengan upaya pemerintah Malaysia, sudah sampai manakah posisi Indonesia dalam mendorong pengembangan industri perbankan syariahnya?

Kita masih jauh dibanding upaya yang telah ditempuh Pemerintah Malaysia dalam mendorong pengembangan perbankan syariahnya. Jujur saja, kita masih ketinggalan beberapa langkah dari Malaysia.

Kalau saya ibaratkan, kita baru menapak pada satu langkah yang telah dilakukan Pemerintah Malaysia dalam mendorong perkembangan perbankan syariahnya. Padahal, kalau tidak salah, Pemerintah Malaysia telah merealisasikan enam kebijakan dukungan pengembangan perbankan syariah domestik. Jadi masih ada lima langkah Malaysia yang belum kita tempuh.

Satu langkah yang sudah pemerintah lakukan adalah netralisasi pajak. Equalisasi kebijakan perpajakan antara bank syariah dan bank konvensional. Tapi itu sudah cukup lama dilakukan mereka.

Beberapa langkah lain seperti tax holiday pada realisasi investasi pendirian bank-bank umum syariah atau pun unit usaha syariah, sudah dilakukan Malaysia. Kemudahan merger, juga akuisisi untuk pendirian bank syariah juga sudah mereka lakukan.

Ini mungkin hal-hal yang harus pemerintah pikirkan bila ingin mendorong pengembangan industri perbankan syariah dalam negeri. Harus ada niat dan komitmen serius dari berbagai pihak untuk mendorong pengembangan bank syariah ini.

Hal yang masih dipikirkan para pelaku industri perbankan syariah menjelang penerapan aturan netralisasi PPN atas transaksi murabahah April besok adalah kewajiban PPN Murabahah sebelum aturan diberlakukan. Apalagi kabarnya tunggakannya sampai Rp400 miliar. Apa penilaian Anda?

Hal yang harus jadi catatan, sulit bagi kita untuk menyalahkan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan terkait penerapan PPN murabahah ini. Sebab, mereka pun melakukannya berdasarkan dasar dan ketentuan perundang-undangan yang jelas.

Aturan tersebut termuat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), dimana dalam PBI ini, transaksi murabahah didefinisikan sebagai jual beli yang menjadi objek pajak. Aturan kedua termuat pada Pedoman Akuntansi Syariah (PAS), dimana transaksi murabahah jadi bagian dari objek pajak.

Sebelum tahun 2003, atau sebelum adanya kedua ketentuan ini, hampir tidak ada perdebatan terkait kewajiban PPN atas transaksi murabahah. Baru setelah ada kedua aturan tersebut, yang diterbitkan sekitar Maret 2003, muncul perdebatan soal PPN atas transaksi murabahah.

Karena demikian aturannya, maka mereka tentu saja mau tidak mau tetap harus masuk, menagih kewajiban perpajakan PPN atas transaksi murabahah. Meski sebetulnya, Direktorat Jenderal Pajak juga memahami bahwa ini bukan merupakan objek pajak karena substansinya sama dengan transaksi pada perbankan konvensional.

Tapi, sekali lagi, karena aturannya mengatakan demikian, Direktorat Jenderal Pajak tetap akan menagih kewajiban tersebut. Mereka akan merujuk pada UU tersebut dan tak akan berhenti sampai ini (UU) diubah.

Tapi, diakui atau tidak, kisruh ini sudah menjadi akar kegelisahan industri di tengah optimisme penerapan netralisasi PPN. Apa jalan tengah yang bisa dilakukan pemerintah?
Mungkin perlu diselesaikan tidak dalam level Direktorat Jenderal Pajak dan bank-bank syariah, harus ada penyelesaian di tingkat lebih tinggi, misalnya Presiden. Paling tidak, Menteri Perekonomian.

Bila masalah ini diselesaikan Presiden, saya kira jalan ceritanya akan lain. Sebab kita tahu, presiden memiliki kewenangan cukup luas dalam mengatasi persoalan ini.

Kalau yang digunakan adalah cara-cara standar saja, BUS dan UUS mungkin harus bersabar. Karena, tentunya, persoalan ini akan diselesaikan satu-satu melalui pengadilan pajak sehingga membutuhkan waktu penyelesaian yang tidak sebentar. (Zaenal Muttaqin)