Kamis, 16 September 2010

Agar Tak Terus Disalip Tetangga

INDUSTRI perbankan syariah telah hadir di industri perbankan nasional sejak 1993 lalu dengan ditandai kelahiran PT Bank Muamalat Indonesia. Dengan demikian, hampir dua dasawarsa, industri ini menjadi diferensiasi atas sistem perbankan yang sudah ada.
Dengan asumsi penduduk muslim yang cukup mendominasi total populasi tanah air, sejatinya bank-bank syariah menjadi leader dalam memberikan alternatif transaksi perbankan. Alih-alih demikian, hingga saat ini pangsa pasar industri ini pun masih sangat minim, tak lebih dari 3%.
Ini tentunya menjadi satu hal yang sangat disayangkan. Bila menggunakan persektif populasi Muslim, Malaysia yang saat ini memiliki porsi populasi Muslim yang tak lebih banyak dibanding Indonesia, mampu menjadi leader dalam menawarkan sistem perbankan, bahkan cukup diperhitungkan di pasar keuangan dan perbankan syariah global.
Lantas apa yang kurang dari industri perbankan syariah domestik? Apakah masih cukup mengandalkan pada upaya industri sendiri, atau diperlukan semacam asset convertion dari konvensional ke syariah dengan melibatkan stakeholder pemerintahan sehingga pangsa pasar industri perbankan syariah lebih terdongkrak?
Terkait itu, Seputar Indonesia mewawancarai Ketua Umum Asosiasi Bank-Bank Islam Indonesia (Asbisindo) Riawan Amin sebagai individu yang cukup banyak berpengalaman mengembangkan industry perbankan syariah domestik. Berikut petikannya;

Bisa anda berikan gambaran tentang perkembangan industri perbankan syariah dalam setahun terakhir dan setahun yang akan datang?

Mengacu pada data industri perbankan syariah dalam negeri secara tahunan (Yoy) dari Bank Indonesia per November 2009 lalu, profit bank syariah naik hampir`100%. Artinya, krisis ekonomi dan moneter global tidak mampir ke Indonesia, dengan dibuktikan pertumbuhan GDP yang positif yakni 4,3% bersama-sama dengan China dan India. Lebih, spesifik lagi, krisis tidak mampir pada industri perbankan syariah dengan bukti masih adanya profit yang cukup besar. Jadi syukur alhamdulillah.
Lalu di 2010, saya pikir kondisinya akan lebih stabil lagi. Apalagi kita melihat ada suatu sinyal yang sangat positif dari Gubernur Bank Indonesia dan jajarannya, yaitu disosialisasikannya empat kebijakan pokok Bank Indonesia di 2010. Dari empat tadi, dua hal pertama adalah hal klasik karena dari dulunya juga begitu, yaitu pertama meningkatkan resiliensi sistem perbankan nasional dan kedua adalah meningkatkan intermediasi perbankan. Ketiga adalah meningkatkan peran dan ketahanan perbankan syariah dalam negeri. sedang keempat berkaitan dengan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat.
Nah secara sepintas, saya melihat bahwa yang nomor tiga dan empat, kalau itu dijalankan dengan betul-betul serius dan massif dengan cara memadai, maka poin pertama dan kedua akan terdukung. Sebab kalau kita lihat, syariah itu memiliki cirri-ciri misalnya, real sector based atau berpihak kepada sektor riil. Kemudian, transaksinya aman. Nah BPR adalah grass root masyarakat, sehingga menyebabkan penyebaran kemakmuran yang lebih merata. Jadi bila nomor kedua dan ketiga direalisasikan dengan benar-benar, yakni resiliensi perbankan dan intermediasi, otomatis (perbankan syariah) akan terdukung.
Tapi bahwa masuknya perbankan syariah dan pengembangannya menjadi satu dalam empat kebijakan pokok Bank Indonesia, sekali lagi kita harus bersyukur. Yang kita harapkan, ini bukan hanya kebijakan pada level atas saja. Kita berharap implementasinya juga dijalankan dengan baik oleh orang-orang yang terkait langsung di Bank Indonesia terhadap pengembangan hal-hal ini.

Bagaimana dengan pembebasan pajak berganda April nanti?

Begini, apa yang terjadi pada April 2010 nanti, bahwa akan ada pembebasan PPN Murabahah, sifatnya belum mendorong. Itu sifatnya baru menghilangkan masalah. Bahkan, itu pun tidak 100% menyebabkan masalahnya hilang. Karena masih ada ketidakjelasan tentang bagaimana status PPN Murabahah yang terbentuk sebelum April 2010. Sebab bank syariah itu terbentuk sekitar tahun 1993-an. Dan kalau tidak berlaku surut, maka sama saja akan menimbulkan gangguan pada bank-bank syariah yang sudah ada. Itu hanya menguntungkan bagi yang baru-baru, tetapi sangat mengganggu bagi yang sudah berjalan. Jadi masih ada masalah yang harus diselesaikan, dan kembali lagi, apa yang terjadi dengan segala kesyukuran, itu baru bersifat menghilangkan masalah. Belum menjadi faktor pendorong.
Kita belum masuk ke dalam step atau tatanan seperti yang terjadi di Malaysia. Di Malaysia, pemerintahnya sudah masuk kepada tahap pemberian insentif kepada industri perbankan syariah. Bukan sekedar menghilangkan masalah. Kalau menghilangkan masalah, Malaysia sudah melakukannya sejak lama, sejak dulu-dulu.

Lalu, lebih spesifik ke soal pangsa pasar. Sebelumnya kan, pangsa pasar perbankan syariah pernah ditarget tercapai 5%, bagaimana penjelasan anda?

Pertama sebelum menjawab itu, kita harus meluruskan paradigma yang berkembang selama ini terlebih dulu. Apakah target itu 5%, atau 50%, atau bahkan 75%, tentunya kan harus mempunyai dasar yang jelas. Sebetulnya pertanyaannya, kenapa hanya 5%? Padahal kalau dilihat dari komposisi penduduk muslim saja kan 80-90% dari total jumlah penduduk. Dilihat dari tingkat keimanannya, semua orang Indonesia itu masyarakat beragama. Kenapa? Karena angka 5% itu muncul dari paradigma yang bersandar pada mekanisme pasar. Sehingga, dengan kondisi bank syariah yang masih sedikit, masih kecil, maka target pangsa pasar syariah sebesar 5% kemarin itu sudah dianggap sebagai sebuah target yang berani dan luar biasa. Secara logika bisnis, yang pantas itu cuma segitu. Nah, ini yang harus diluruskan.
Dan yang selalu muncul (dipersalahkan menyebabkankan kegagalan) adalah logika pasar, sumber daya insansi enggak cukup, kompetensi gak cukup, layanan kurang bagus, modal tidak banyak dan sebagainya. Logika pasar sebetulnya, hanya pantas diungkapkan pasar, tidak pantas disebutkan oleh regulator atau pemerintah. Yang namanya regulator atau pemerintah, seharusnya adalah, (mengatur bahwa) perbankan syariah sudah prudent, memiliki track record yang baik, sudah mampu menarik banyak pihak di dalam dan luar negeri, mempunyai prospek di masa depan. Maka saya misalnya, selaku pemerintah, menjadikan ini targetnya 5% atau 10%. Artinya, bukan mekanisme pasar, tapi determinasi dalam melakukan sesuatu secara top down dan mission driven. Nah itu yang penting. Mengapa demikian? Karena itulah tugas negara, memilih mana yang baik dan membesarkannya.
Bagaimana cara membesarkannya? Seperti yang saya katakan tadi, dari empat kebijakan BI, salah satunya adalah peningkatan peran perbankan syariah dan ketahanannya. Peningkatan peran, artinya memperbesar peran itu tidak terlepas dari market size dan market share. Peningkatan ketahanan artinya prudential banking, harus berhati-hati. Boleh membesarkannya, tapi jangan sampai mengganggu ketahanannya.

Tawarannya?

Lakukan Asset convertion policy. Ini adalah jalan paling logis untuk membesarkan tanpa membuat perbankan syariah tidak malah menjadi tidak prudent, yaitu dengan memfokuskan pengembangannya, bukan dengan menggelembungkan bank syariah yang sudah ada. Caranya, mensyariahkan bank konvensional yang ada. Kalau dia mau membesar boleh, asal jangan dipaksa diperbesar, Mekanismenya bagaimana, syariahkan bank konvensional yang ada. Bagaimana mensyariahkannya? Di Kebijakan Bank Indonesia tahun 2010, ada insentif kompetensi SDM, insentif untuk peningkatan modal, dan insentif peningkatan Unit-usaha syariah (UUS). Kalau saya simple saja, kalau semua sudah masuk seperti itu, buat saya jelas, 2010 semua bank di Indonesia sudah harus mempunyai UUS. Bisa gak kita targetkan seperti itu? Kalau namanya pemerintah, regulator, mestinya bisa dong. Masa diserahkan kepada pasar?
Jadi, pertama, semua bank sudah harus punya UUS. Kedua, bank-bank BUMN, buat asset convertion plan lima tahun ke depan. Kita tidak bermaksud mengganggu BUMN tersebut, tidak bermaksud mengkerdilkannya. Kita tidak bermaksud mengganggu keuntungannya, yang kita minta cuma carilah keuntungan yang halal. Bagaimana caranya? Ya asset convertion plan tadi. Berapa puluh persen asset anda disyariahkan tahun ini, dilakukan bertahap dalam lima tahun ke depan.
Nah, ini berbeda kalau kita memaksa institusi kecil, ditekan-tekan supaya membesar. Itu tidak alamiah dan terlalu beresiko terhadap ketahanan bank tersebut. Bisa macet semua pembiayaannya. Lain kalau dengan mengkonversi. Pembiayaannya sudah ada, sekarang dilakukan halalisasi atau syariahisasi atas asset-aset yang sudah ada. Lebih mudah kan? Tidak beresiko kan? Maka sebetulnya target pangsa pasar 5% itu akan terlihat sebagai sebuah guyonan yang sangat tidak lucu. Masa hanya 5%. Kalau saja asset Bank Mandiri sebesar 20% yang dikonversi saja, sudah berapa pangsa pasarnya. Pangsa pasar 5% itu langsung lewat. Saya kira secara teknis tidak terlalu sulit.

Outputnya akan seberapa besar?
Coba cari datanya. Asset perbankan BUMN berapa? Kalau total kan Rp2.500 triliun, BNI berapa asetnya? BTN dan BRI juga berapa? Mandiri? Nah, keempat bank BUMN ini sekurang-kurangnya menguasai 40% pangsa asset perbankan nasional. Jadi kalau 20% dari 40% saja, itu sudah berapa. Atau katakanlah 25% convertion asset di tahun pertama, lalu ditambah 2,5% yang sudah existing, maka pangsa pasar perbankan syariah bakal langsung mencapai 12% pangsa pasar bank syariah dalam waktu satu tahun.
Tapi bukankah, bank-bank BUMN sendiri sudah membentuk UUS, bahkan BUS? Ya terserah, itu yang saya katakana tadi, kalau anda masih bergantung pada upaya perbankan syariah yang sudah existing. Tapi sampai kapanpun saya kira sulit tercapai. Sebab kalau anda bicara misalnya 5% pangsa pasar, kan harus diperhatikan rumus pembilang dan penyebut. Pembilangnya bank-bank dan unit-unit usaha syariah, sedang penyebutnya perbankan nasional yang didominasi perbankan konvensional. Jadi kalau yang atas naik, maka yang bawah juga naik. Persentase itu itu baru bisa tercapai kalau yang atas naik dan yang bawah ditahan, atau penyebutnya dikonversi.
Kalau bagi Bank BUMN, bisa saja mengkonversi asetnya, kalau bisa, dipindahkan ke BUS-nya. Itu kan konsolidasi juga. Tinggal maunya. Apa salahnya bila misalnya BNI, (sebagian) asetnya dikonversi menjadi BNI syariah. Sehingga 12% pangsa pasar syariah domestik bisa segera tercapai. Dan 12% itu langsung melonjak, menyusul Malaysia. Malaysia saja yang sudah bertahun-tahun industri perbankan syariahnya, pangsa pasarnya baru 15%-an pangsa pasarnya. Kalau dalam satu tahun pertama misalnya kita bisa 12%, maka Indonesia akan menjadi negara yang sangat luar biasa dalam mendorong industry perbankan syariahnya.

Tadi anda menyebutkan perbanyak UUS, atau bahkan konversikan asset BUMN jadi BUS. Apa kira-kira insentif yang bisa diberikan?

Yang terpenting adalah berikan insentif pengurangan pajak yang berbanding lurus dengan pertumbuhan transaksi syariahnya. Kalau detailnya kan bisa dipikirkan, bahwa pajak badan itu 33% dari total keuntungan, kalau dia bank konvensional, dan transaksi syariahnya zero (nol). Tetapi kalau dia memiliki UUS dengan asetnya 10% daripada induknya, maka pajak badannya bisa dikurangi misalnya 3%. Kalau asset syariahnya mencapai 20% dari total, maka pajak badannya bisa dikurangi 6%. Pasti orang akan berebut kok dalam mendorong transaksi syariah.
Pemberian insentif pajak bukan mengurangi pendapatan negara. Harus digunakan persepektif lain, bahwa mengembangkan perbankan syariah menjadi hal sangat strategis bagi stabilitas perekonomian, menciptakan diferensiasi bagi sistem perbankan nasional Indonesia. Nah itu keuntungannya. Sebab tujuan dari pajak juga kan tidak sekedar mendapatkan uang, melainkan mendorong perilaku yang kita inginkan atau men-discourage agar masyarakat tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk kemudahan perizinan juga. Maka dengan sendirinya, industri perbankan syariah terdongkrak. (Zaenal Muttaqin)