Rabu, 30 Juni 2010

Agar Bank Juga 'Jemput Bola'

PERBANKAN syariah dalam negeri semestinya berpartisipasi serius dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) syariah di berbagai perguruan tinggi. Dunia pendidikan tak bisa sendirian dalam mencetak SDM Syariah yang makin banyak diminati pasar.
Mengutip analisis Ketua Program Islamic Economic Finance Universitas Trisakti, Sofyan Syafri Harahap, perbankan syariah dalam negeri relatif masih belum berperan aktif dalam mendorong pengembangan SDM syariah. Padahal, setiap tahun perbankan selalu mengeluhkan minimnya SDM syariah berkualitas yang mereka butuhkan guna menopang kinerja bisnisnya. Dalam bahasa Sofyan, bank-bank syariah belum ada yang melakukan ‘jemput bola’ dalam mengembangkan SDM syariah, misalnya bekerjasama dengan dunia pendidikan yang secara khusus mencetak lulusan SDM syariah.
Seharusnya, Sofyan menyarankan, penyediaan SDM syariah tidak bisa semata-mata ditumpukan kepada dunia pendidikan atau perguruan tinggi pencetak SDM tersebut. Sebab, dengan kapasitas yang dimilikinya, dunia pendidikan akan lebih banyak menyediakan pendidikan secara teoretik lebih besar dibanding aplikatifnya. Sebaliknya, dengan dana dan pengalaman yang mapan, bank-bank bisa men-support perguruan tinggi dalam mencetak SDM Syariah yang siap pakai.
Bila perguruan tinggi dan perbankan Islam masih berjalan sendiri-sendiri, maka kesenjangan antara permintaan SDM Syariah yang siap pakai dengan jumlah lulusan yang tersedia akan terus berlanjut. Perbankan syariah akan terpaksa memanfaatkan SDM-SDM konvensional. Padahal itu artinya, bank-bank juga harus mengalokasikan tambahan cost, baik nominal maupun efisiensi waktu, untuk mendidik SDM-SDM Syariah baru.
Akibat perbankan syariah yang terkesan ‘membiarkan’ perguruan tinggi Islam Negeri/Swasta sendirian mencetak SDM syariah dalam memenuhi kebutuhan pasar, tak heran ribuan sarjana ekonomi syariah dari berbagai perguruan tinggi Islam per tahun banyak yang masih ‘menganggur’. Sebab, perguruan tinggi ini lebih banyak menekankan di sisi pendalaman ekonomi secara teoretik dan sedikit aplikatifnya.
Di sisi pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, bisa memberikan keleluasaan dan dorongan bagi perguruan tinggi negeri umum untuk mendirikan –minimal-jurusan ekonomi syariah. Dengan pengalaman pengajaran ekonomi konvensional, perguruan tinggi ini diharap bisa ikut menutup kebutuhan SDM Syariah siap pakai yang terus meningkat saat ini.
Saat ini, sejumlah perguruan tinggi umum sudah berupaya menutup kebutuhan tersebut dengan membentuk unit-unit konsentrasi ekonomi dan keuangan syariah. Namun karena sifatnya konsentrasi, maka unit-unit ini pun memiliki keterbatasan dalam mencetak SDM syariah dengan jumlah dan standar yang dibutuhkan pasar syariah dalam negeri.
Kepala Penelitian Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Dhani Gunawan Idhat sebelumnya mengatakan, salah satu tantangan industry keuangan dan perbankan syariah saat ini dan mendatang adalah kekurangan SDM Syariah siap pakai. Menurutnya, kualitas SDM syariah lulusan berbagai perguruan tinggi dalam negeri cenderung memiliki kelemahan di sisi aplikatif, meski unggul secara teoretik.
Dalam hitungan Dhani, tak kurang dari 52 universitas di Indonesia yang menyediakan konsentrasi ekonomi dan perbankan syariah. Sayang, kurikulum yang diajarkan masih terlalu umum, belum spesifik tentang keuangan dan perbankan syariah. Akibatnya, masih banyak lulusan sarjana syariah tidak terserap ‘pasar’ dengan baik.
Barangkali, Indonesia bisa berkaca pada negeri tetangga, Malaysia. Negeri ini, memiliki 7 dari 50-an universitas yang secara khusus menawarkan SDM berbasis syariah dengan standar sarjana siap terjun di tingkat praktis. Pasalnya, pengajaran di Malaysia lebih banyak ditekankan pada teknis pengumpulan dana, penyalurannya, asset and liability management sehingga pada saat kerja mereka mudah teraplikasikan. (Zaenal Muttaqin)