Senin, 16 Agustus 2010

Memberdayakan Ekonomi Umat

BPR Syariah,
KEBERADAAN sejumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tak bisa dipandang sebelah mata. Selain bisa memanfaatkan ceruk bisnis menggiurkan, mereka juga berperan besar menyediakan manfaat ekonomis masyarakat setempat.
Dari sisi ceruk bisnis, BPRS jelas memiliki segmentasi bisnis berupa kelompok nasabah ‘kelas mini’ yang potensial mulai dari pedagang mikro, petani, hingga nelayan. Potensial karena permintaannya tinggi, namun kebermasalahan pinjaman (non performing finance/NPF) terbilang rendah dibanding nasabah ‘kelas berat’ yang dibidik bank-bank kelas kakap.
Dari sisi manfaat, keberadaannya juga jelas menjadi solusi bagi para pelaku ekonomi yang selama ini kesulitan mendapatkan akses pembiayaan bank yang relatif rumit persyaratannya. Hanya menyediakan syarat-syarat yang simpel, mereka bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan BPRS.
Direktur Utama BPRS Suriyah Ahmad Mujahid memaparkannya kepada Seputar Indonesia tentang seluk beluk bisnis yang disasar BPR Syariah. Berikut petikannya;

Apa sebetulnya yang memotivasi kehadiran BPR Syariah?

Secara ekternal, ada dua. Pertama, mayoritas masyarakat kita di dalam negeri adalah muslim. Kedua, tentunya masyarakat muslim juga ingin bertransaksi secara syariah dalam menjalankan transaksi keuangan dan perbankan.
Secara internal, pemegang saham juga ingin memfasilitasi masyarakat Islam yang ingin bertransaksi secara syariah, makanya dibentuklah BPRS Suriah dengan modal awal yang cukup terjangkau waktu itu Rp1 miliar. Prinsipnya, kami ingin melayani kebutuhan pembiayaan masyarakat yang selama ini sulit mengakses pembiayaan bank dengan skala menengah besar. Kedua, kami ingin menghindarkan transaksi ribawi (berbasis riba) dari masyarakat.
Sebagian masyarakat muslim yang memahami, transaksi yang keuangan perbankan sekarang bisa dikategorikan masih syubhat (samar-samar kebolehannya). Namun karena dulu atau di daerah-daerah banyak yang belum tersentuh bank syariah, maka terpaksa mereka gunakan itu (bank konvensional). Untuk mengurangi keterpaksaaan semacam itu, maka kita dirikan bank syariah.

Kalau sekedar berbasis syariah, bukannya sekarang masyarakat juga bisa mengakses pembiayaan dan simpanan di bank umum syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) suatu bank?

Kami menyasar segmen nasabah kecil mikro. Kami tidak mengatakan menengah. Itulah yang menjadi pangsa pasar kami, BPR Syariah. Perlu diketahui, karakteristik pengusaha kecil mikro, maunya cepat tanpa harus syarat yang ribet. Mereka cukup datang bawa persyaratan, disurvei, sehari dua hari clear, sudah ada keputusan bisa atau tidaknya. Paling lambat satu minggu. Kalau bank umum kan lain, harus mengikuti ketentuan prosedural yang cukup panjang. Tidak cukup seminggu.
Kenapa mereka butuh cepat, karena perputaran penggunaan modalnya juga relative cepat. Pedagang sayuran misalnya, beli dagangan pagi, siang atau paling lambat sore hari pasti sudah habis. Itulah pangsa pasar kami, kecil.

Seperti apa saja profil nasabahnya?

Biasanya nasabah meruakan pedagang kecil yang butuh modal, sesuai kebutuhan permodalan usahanya yang tidak begitu besar. Bagi kami prinsipnya, bisa membantu mereka dalam mengakses permodalan daripada harus ke rentenir. Kita jadinya bersalah. Makanya kita kasih, tanpa jaminan. Asal jelas kepatutan, tempat tinggal, dan orangnya.
Kayak pedagang sayuran yang didorong, modalnya kan pasti enggak sampai Rp2,5 juta. Warung-warung kayak di Ciamis – Cilacap, kan modalnya tidak sampai belas puluhan juta. Sementara bank umum kan enggak mungkin masuk ke pasar seperti itu. Ribet, lebih baik ngurusin yang Rp1 miliar.
Hampir sebagian besar atau 50% nasabah kami merupakan pedagang, mulai dari pedagang pakaian, sembako, sayuran, kelontong. Tapi yang banyak sembako dan pakaian yang di pasar-pasar, bukan mall atau di Jalan Kemang (Jakarta selatan). Sebagian lagi nasabah di bidang pertanian atau pedagang hasil pertanian sekitar 20%. Industri Kecil Menengah 10% karena industry kecil di Cilacap jarang. Memang ada industry jamu, tapi kami belum mau menyasar karena belum jelas status halal-haramnya, terutama menyangkut dugaan penggunaan bahan kimia. Sisanya konsumtif sebesar 20%, terutama kalangan pegawai swasta.

Berapa rata-rata pembiayaan yang diberikan?

Sesuai penyebutannya mikro, maka rata-rata pinjaman kreditnya Rp50 juta ke bawah, memang ada juga yang Rp100 juta, tapi itu sangat minoritas. Memang ada batas maksimum pinjaman sesuat BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) –nya, atau sesuai dengan permodalan banknya. Tapi kan masih jarang.
Sebagai perbandingan, kalau BPR konvensional , batas maksimum kan 30%. Tapi kalau BPRS, karena belum ada aturannya, maka kita masih gunakan ketentuan lama 20% dari permodalan. Walau secara UU Nomor 21 tentang Perbankan Syariah 30%, tapi Peraturan BI-nya belum keluar, jadi masih gunakan 20%.
Untuk itu, seperti BPR Syariah di tempat kami, BPMK-nya kan Rp380 juta. Tapi saya belum pernah kasih kredit pembiayaan sebesar itu. Karena kalau sudah sebesar itu, pangsa pasarnya bank umum. Paling tinggi kita kasih kredit pembiayaan Rp250 juta ke bawah. Bahkan kami paling banyak kasih kredit Rp2,5 juta saja.

Apa saja produk-produk yang ditawarkan bagi nasabah?

Beragam, mulai dari murabahah hingga ijaroh. Terbanyak, nasabah memanfaatkan murabahah. Sekitar 50-60% yang memanfaatan transaksi murabahah ini. ada juga yang memanfaatkan transaksi dengan akad musyarakah mudharabah 25% dan ijaroh 20%, sisanya qardh. Musyarakah mudharabah biasanya untuk modal usaha konstruksi skala kecil, rata-rata hingga Rp200 juta. Sedang ijaroh biasanya untuk biaya sewa tempat atau gedung dan biaya tenaga kerja.
Kenapa banyak yang memanfaatkan transaksi murabahah, kemungkinan masyarakat inigin bertransaksi secara syariah, tapi paradigmanya masih mengacu ke sistem konvensional. Memang sudah ada kemajuan dimana sebagian lagi sudah mulai menggunakan akad musyarakah mudharabah
Dengan pasar seperti itu, bagaimana pertumbuhan kinerja BPRS Suriah sendiri?
Rata-rata, selama lima tahun sejak kami berdiri, kinerja mencatatkan pertumbuhan yang meningkat cukup signifikan. Pada tahun 2009 misalnya, kami mencatatkan tingkat pertumbuhan pembiayaan hingga 40%. Ada penurunan sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya 50-60%.

Kenapa?

Saya enggak tahu, mungkin salah satu faktornya adalah banyaknya bank umum yang ikut masuk ke segmen mikro. Tahun 2009 kan ada Mega Mitra dari Bank Mega Syariah dan BTPN. Pangsa pasar yang diambilnya sama persis dengan kita, mikro kecil. Bahkan mereka menawarkan pinjaman pembiayaan Rp50 juta tanpa jaminan. Meski sebetulnya, harga biaya pinjamannya tetap lebih mahal daripada kami. Sebab kalau diekuivalenkan, biayanya bisa dua kali lipat di atas kita. Kalau biaya di DSP BTPN 46% per tahun, maka flat-nya 24% per bulan. Kan jauh lebih tinggi dibanding kami.

Lalu, berapa nominal pembiayannya?

Tahun 2009 saja Rp17 miliar dengan posisi asset kita Rp19 miliar. Tahun ini kita menargetkan pembiayaan yang disalurkan bisa meningkat hingga Rp27 miliar. Ada semangat baru untuk bisa merealisasikan penyaluran pinjaman sebesar itu.

DPK-nya bagaimana?

Kalau diibaratkan, kita ini kan mikrolet. Muter-muter-nya hanya dalam satu kota. Tapi kalau yang namanya BUS (Bank Umum Syariah) kan bus, muternya bisa antar provinsi. Pertumbuhan DPK kita tahun 2009 hanya 30%, turun dari tren tahun-tahun sebelumnya 40% ke atas.
Mungkin juga karena kita harus bersaing dengan bank-bank umum syariah yang lebih mapan dalam dukungan teknologinya. Sementara di saat yang sama, masyarakat juga kan sudah mulai melek teknologi, kemudahan bertransaksi lewat handphone dan ATM. Lha kita kan tidak punya seperti itu. Mau ikut link ke ATM Bersama, bayarnya mahal.
Secara teknis, sebetulnya kami bisa, software teman-teman BPR Syariah saya yakin bisa untuk itu, Insya Allah. Melingkar di ATM Bersama. Cuma memang kami kan enggak kuat bayarnya. Kabarnya untuk jadi member-nya saja Rp150 jutaan per tahun. belum lagi biaya jaminan dan komunikasi.

Berapa nominalnya?

Dilihat dari sisi nominal, total tabungan dan deposito yang bisa kami kumpulkan hingga akhir Desember 2009 kurang lebih Rp13 miliar. Tapi itu belum termasuk dana dari linkage program dengan tiga bank umum syariah, yakni Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, dan BTN Syariah. Dari linkage program, kita bisa mendapatkan dana Rp5,6 miliar. Jadi kalau dihitung total plus modal Rp18,6 miliar. Makanya tadi asset kami saat ini Rp19,9 miliar, hampir Rp20 miliar.

Bagaimana dengan kredit bermasalah (NPF)?

NPF kita per 2009 2,9%. Jadi masih cukup rendah. Karena mayoritas pedagang nasabahnya, mungkin risiko usaha. Agak sedikit naik sebetulnya 0,2% dari NPF tahun 2008 2,7%.

Faktornya?

Biasanya kalau usaha kecil macam-macam problemnya. Tipikal usaha mikro kecil itu kan biasanya tidak bisa memisahkan uang usaha dengan uang keluarga. Jadi istilahnya uang usaha, tapi kalau ada kebutuhan untuk biaya dapur atau biaya sekolah anak-anaknya, digunakan dulu ke situ. Ini menyebabkan usahanya terganggu. Bila seperti itu, maka omzetnya bisa menurun. Bila omzet turun, maka pembiayaan kita juga terimbas.
Jadi kalau faktor NPF di usaha kecil mikro ini bukan masalah krisis, tapi lebih karena tidak bisa memisahkan antara mana uang keluarga dan usaha. Kalau ada krisis (ekonomi), enggak terlalu. Dikatakan krisis, bila misalnya anak-anaknya butuh biaya sekolah, musiman. Kalau musim masuk sekolah, ya meningkat NPF-nya. Itu banyak.

Bagaimana mengatasinya?

Kita lihat dulu masalahnya. Kalau masalahnya seperti karena kebutuhan biaya sekolah, biasanya kita rescheduling karena kemampuan dia sedang menurun atau dia hanya harus mengangsur dalam nominal yang sudah disepakati sesuai kemampuannya. Lamanya, juga tergantung tergantung kepada kemampuan dia. Kalau di BPRS kan tidak dikenal istilah denda.
Lalu, bagaimana kita bisa melihat seberapa besar kemampuannya? Itu bisa dilihat dari sisa kewajiban utangnya dibagi dengan kemampuan dia, itulah masa perpanjangannya. Misalnya sisa piutangnya Rp10 juta, lalu kemampuan membayarnya Rp500 ribu dari normalnya Rp1 juta, ya Rp10 juta dibagi Rp500 ribu. Jadi reschedulingnya selama 10 bulan, dari harusna 10 bulan saja.
Kalau sampai eksekusi, biasanya karena orangnya yang bermasalah, bukan karena akibat penurunan kemampuan, orangnya yang membohongi. Kalau penurunan kemampuan kan masih ada kemauan untuk membayar. Kalau di BPRS, yang utama adalah yang dinilai mampu dan mau. Kalau bank umum bisa macem-macem. Makanya kita bisa tiga hari cair. Tapi hingga saat ini, kami belum pernah melakukan eksekusi.

Tadi anda sebutkan masuknya bank-bank umum syariah ke segmen mikro menjadi tantangan bagi pengembangan BPR Syariah sendiri. Dimana letaknya?

Kendala kita adalah di sisi jaminan. Mereka bisa sampai Rp50 juta bisa tanpa jaminan. Kalau kembali kembali kepada harga, masyarakat sebetulnya bisa tidak ke sana karena biayanya juga mahal. Tapi kami yakin masyarakat akan menyadari dan kembali kepada kami dalam 1-2 tahun mendatang. Pengalaman waktu Bank Danamon dulu misalnya, setelah 1-2 tahun banyak nasabah yang kembali lagi setelah menyadari harganya lebih mahal.

Tapi tentu tidak bisa menunggu waktu hingga selama itu, apa strategi BPRS Syuriah mempertahankan nasabah?

Kalau kita biasanya sejak awal sudah dibangun kemitraan antara bank dan nasabah, bukan bank dan debitur, sehingga akhirnya mencul sikap kekeluargaan. Melalui pendekatan ini biasanya nasabah-nasabah menjadi loyal, tidak diimingi-imingi pun mereka tidak berpindah ke lain hati.

Ada rencana untuk melebarkan jaring bisnis, membuka kantor cabang?

Iya, rencananya kita akan buka cabang di Semarang. Insya Allah dalam semester ini. Ini juga sesuai kesepatan para pemegang saham yang menginginkan pengembangan jaringan ke daerah ini. Terlebih para pemegang saham juga memiliki jaringan usaha di Jakarta dan Semarang sehingga bisa saling mendukung. Tapi kan sesuai aturan, kita hanya bisa buka di satu provinsi, makanya kita buka di Semarang.
Secara bisnis, ini juga untuk menjaga peluang kami di captive market di Semarang, yakni melakukan penghimpunan dana. Di kota Semarang kan arus nilai modal yang berputar relatif lebih besar jumlahnya dibanding di Cilacap. Sehingga secara ekonomi, itu lebih menjanjikan.
Selain itu, pangsa pasar pembiayaan sektor mikro kecilnya juga relatif cukup banyak banyak di banding Cilacap misalnya. Ada banyak orang yang memiliki uang, yang butuh juga banyak. Jadi klop lah dengan peran kami dalam menyalurkan pembiayaan.

Kalau kantor kas selama ini sudah berapa unit?

Di Cilacap kita sudah bentuk empat kantor kas (payment point) untuk menyasar di Majenang, Sidareja, Kroya, dan Rumah Sakit Islam Fatimah. Total nasabah yang sudah bisa kita himpun lebih kurang 3.600 orang nasabah.
Selain itu, nasabah kami tidak terbatas pada muslim saja. Seluruh masyarakat juga bisa menjadi nasabah dan mengajukan pembiayaan dari kami. Ada banyak nasabah non muslim yang saat ini menyimpan deposito dan mendapat pembiayaan dari kami. Harapannya, kami bisa memberikan pembiayaan secara lebih luas.

Dalam pengembangannya, bagaimana dengan dukungan pemerintah selama ini?

BPR-BPRS kan kelasnya biasanya di daerah. Jadi dukungannya barangkali semenstinya dari pemerintah daerah setempat sendiri. Di beberapa kabupaten seperti di Kabupaten Purbalingga itu, pemerintah daerah sudah sangat mendukung. Sehingga pada program-program pemerintah sekalipun diikutkan. Beberapa pemerintah daerah bahkan sudah ada yang menjadi pemilik saham terbesar BPRS di daerah masing-masing. Tapi tidak sedikit pemerintah daerah yang belum memberikan dukungan secara optimal.

Apa mimpi anda dengan BPR Syariah Suriah?

Mimpi saya mimpi lokal. Kami ingin, BPRS kami bisa melayani kebutuhan masyarakat setempat. Jadi mimpi saya, hampir semua kecamatan di Cilacap bisa memiliki kantor cabang. Menyentuh ke pelosok-pelosok. Sehingga masyarakat-masyarakat di daerah ini pun bisa tersentuh manfaat yang bisa kami berikan, dan mereka pun menjadi lebih berdaya secara ekonomi. (Zaenal Muttaqin)