Selasa, 12 Januari 2010

Masyarakat UEA Lebih Puas Dengan Bank Syariah

Tak salah bila menyematkan Uni Emirat Arab (UEA) sebagai kiblat pengembangan system ekonomi dan keuangan syariah paling mapan di dunia. Bukan hanya di sisi pengembangan modal, sistem, UEA juga terbilang serius dalam mendorong peningkatan kualitas pelayanan bagi kalangan nasabah.

Baru-baru ini misalnya, survey studi tentang kualitas layanan perbankan ke-5 industri perbankan lembaga Konsultan Ethos melaporkan tentang betapa seriusnya kinerja bank-bank syariah di negeri menara tertinggi di dunia tersebut. Survey yang dilakukan secara rutin dalam lima tahun terakhir ini dilakukan pada 27 bank di seluruh negara tersebut, dimana 7 diantaranya merupakan bank syariah.

Managing Director Ethos Consultancy Robert Keay mengatakan, bank-bank syariah di UEA sangat berkomitmen dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap nasabah, meski tetap harus mendorong kinerja pertumbuhan bisnis. “Aspek compliant bank Syariah sangat kompetitif di UEA dan layanan pelanggan menjadi sebuah kewajiban. Tidak heran bila kemudian bank-bank Islam harus puas dengan hasil yang mereka dapatkan,” ujarnya.

Berdasar hasil survei yang dilakukan secara online, kinerja perbankan syariah di UEA memiliki keunggulan dibanding bank-bank konvensional lain secara sekaligus pada tiga aspek, yakni kualitas layanan saluran cabang, layanan call center, dan website yang mengatur informasi terkait kepentingan nasabah. Tercatat lima dari tujuh bank Islam berhasil masuk ke dalam peringkat 10 besar bank berkinerja terbaik di UEA.

Dalam survey yang dilakukan, bank-bank syariah mendapatkan skor nilai 81,5% untuk kualitas pelayanan, naik 10% dai skor kualitas pelayanan perbankan dalam survey Oktober 2008 sebelumnya. Di saat yang sama, kualitas layanan bank-bank konvensional tertinggal di belakang dengan skor nilai tak lebih dari 77,7% atau 3,8% di bawah skor nilai yang didapatkan bank syariah.

“Untuk kualitas pelayanan ini, masyarakat UEA mengungkapkan pengalaman kepuasannya, seiring kesadaran bank-bank ini dalam standar layanan call center yang dimilikinya,” sebut laporan survey tersebut.

Di sisi layanan kantor cabang, bank-bank syariah di UEA juga mencatatkan kenaikan skor menjadi 82,9% pada survey Oktober 2009, meningkat jauh atau sekurangnya 11,9% dibanding catatan skor 71% yang didapat pada survey Oktober 2008 sebelumnya. Ini jauh diatas kenaikan skor bank-bank konvensional yang hanya mencatatkan kenaikan tak lebih dari 9,1% dalam periode yang sama.

Pada layanan penelusuran dan pertanyaan melalui layanan website online yang selama ini merupakan titik terlemah sejak survey Ethos dil berhasil dibalikan bank syariah dalam survey Oktober 2009. Dalam survey terakhir, skor yang dicatatkan bank syariah mencapai 50,4%, naik 6,6% dari catatan skor 43,8% Oktober 2008 sebelumnya. Bahkan prestasi ini semakin membanggakan mengingat skor bank konvensional hanya bertambah 1,9% dari Oktober 2008 menjadi 46,8% Oktober 2009.

Dilihat dari masing-masing bank syariah sendiri, catat survey tersebut, makin menegaskan keseriusan mereka dalam memberikan kepuasan terhadap pelanggan dan maupun perbaikan kualitas pelayanan berkesinambungan. Dubai Islamic Bank misalnya, menempatkan diri sebagai peringkat pertama dengan mencatatkan skor nilai keseluruhan sebesar 13,2% sebagai akibat langsung dari perbaikan kualitas layanan yang konsisten, pelatihan staf dan kesadaran kegiatan selama 12 bulan terakhir. Begitu juga Dubai Bank yang menempati posisi kedua sebagai 'Most Improved Bank' dan 'Best syariat Compliant Bank'.

Chief Executive Officer Dubai Bank Salaam Al Shaksy mengatakan, prestasi yang dicatatkan Dubai Bank merupakan buah dari dedikasi dan kerjasama seluruh stakeholder dalam mendorong peningkatan pelayanannya. “Perbaikan dramatis yang dicapai bank hanya dalam 12 bulan, jelas menunjukkan dedikasi tim kami, komitmen, dan kerja keras. Setiap anggota tim telah bekerja sama untuk membeirkan keseimbangan yang tepat antara tantangan pada pertumbuhan bisnis dan kualitas pelayanan,” ujarnya.

Di UEA, terdapat sekurangnya tujuh bank yang menggunakan system syariah dalam transaksinya. Masing-masing yaitu Dubai Bank, Dubai Islamic Bank, Emirates Islamic Bank, Noor Islamic Bank, Al Hilal Bank, Abu Dhabi Islamic Bank, dan Al Masraf Bank. Tidak hanya memanfaatkan pasar dalam negeri, bank-bank islam ini tercatat melakukan ekspansi ke berbagai kawasan bisnis negara-negara lain. Sebut misalnya, Dubai Islamic Bank pun melihat Pakistan sebagai target pasar utama. Sementara Dubai Bank melihat negara yang tergabung di Gulf Cooperation Council dan Turki sebagai lahan operasi baru.

Terkait kinerja keseluruhan perbankan, hampir seluruh opini yang berkembang menilai makin prospektifnya pasar ekonomi keuangan dan perbankan syariah UEA meski sebelumnya terjadi gagal bayar Dubai World akhir 2009 lalu. Kesigapan otoritas setempat telah memberikan keyakinan bagi hampir semua kalangan bahwa keuangan Islam Dubai –dan dunia- masih akan terus mencatatkan kestabilan.

Managing Director Swiss Bank Sanjay Vig sebelumnya optimistik memperkirakan aset bank syariah di UEA untuk tumbuh 33% per tahun hingga 2010 ini. Dengan begitu, maka total aset bank-bank ini akan mencapai USD88 miliar atau seperempat dari total aset bank. Segmentasi pasar yang jelas adalah kunci penetapan margin bank syariah, khususnya di pasar yang heterogen seperti Dubai yang memiliki 1,5 juta penduduk dari 150 negara.

Keterbatasan SDM Juga Tanggungjawab Industri Syariah

PERBANKAN syariah dalam negeri diminta ikut berpartisipasi serius dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) syariah di berbagai perguruan tinggi. Dunia pendidikan tak bisa sendirian dalam mencetak SDM Syariah yang makin banyak diminati pasar.

Ketua Program Islamic Economic Finance Universitas Trisakti Sofyan Syafri Harahap mengatakan, perbankan syariah dalam negeri relatif masih belum berperan aktif dalam mendorong pengembangan SDM syariah. Padahal, katanya, setiap tahun perbankan ini mengeluhkan kurangnya SDM syariah yang mereka butuhkan dalam menopang kinerja bisnisnya.

“Belum ada yang serius untuk ‘jemput bola’ mengembangkan SDM syariah, misalnya melalui program ‘jemput bola’ dengan dunia pendidikan yang secara khusus mencetak didikan SDM syariah. Padahal ini (SDM syariah), mereka butuhkan,” papar Sofyan.

Seharusnya, Sofyan menyarankan, penyediaan SDM syariah tidak bisa semata-mata ditumpukan kepada dunia pendidikan atau perguruan tinggi pencetak SDM tersebut. Sebab, dengan kapasitas yang dimilikinya, dunia pendidikan akan lebih banyak menyediakan pendidikan secara teoretik lebih besar dibanding aplikatifnya.

“Karena itu, dengan dana yang dimiliki, pengalaman bertahun-tahun, dan petunjuk kebutuhan SDM syariah ke depan, seyogianya mereka membantu perguruan tinggi dalam mencetak SDM Syariah yang siap pakai,” tegasnya.

Bila masih seperti saat ini, dimana perguruan tinggi dan perbankan Islam berjalan sendiri-sendiri, Sofyan mengungkapkan, maka gap antara kebutuhan SDM Syariah yang siap pakai dengan jumlah lulusan yang tersedia masih akan terus berlanjut. Perbankan syariah akan terpaksa memanfaatkan SDM-SDM konvensional.

“Padahal itu artinya biaya lagi, baik biaya nominal maupun efisiensi waktu. Karena mereka harus men-training SDM tersebut tentang keuangan syariah,” paparnya.

Akibat perbankan syariah yang terkesan ‘membiarkan’ perguruan tinggi Islam Negeri/Swasta sendirian mencetak SDM syariah dalam memenuhi kebutuhan pasar, tutur Sofyan, ribuan sarjana ekonomi syariah dari berbagai perguruan tinggi Islam per tahun banyak yang tersia-siakan. Sebab, perguruan tinggi ini lebih banyak menekankan di sisi pendalaman ekonomi secara teoretik dan sedikit aplikatifnya. “Akibatnya, tak kurang dari 80-90%, user dari kalangan perbankan syariah balik lagi menggunakan SDM-SDM konvensional,” cetusnya.

Terkait peran pemerintah, Sofyan meminta agar Departemen Pendidikan Nasional memberi keleluasaan dan dorongan bagi perguruan tinggi negeri umum untuk mendirikan –minimal-jurusan ekonomi syariah. Dengan pengalaman pengajaran ekonomi konvensional, perguruan tinggi ini diharap bisa ikut menutup kebutuhan SDM Syariah siap pakai yang terus meningkat saat ini.

Saat ini, kata dia, beberapa perguruan tinggi umum juga sudah berupaya menutup kebutuhan tersebut dengan membentuk unit-unit konsentrasi ekonomi dan keuangan syariah. Namun karena sifatnya konsentrasi, maka unit-unit ini pun memiliki keterbatasan dalam mencetak SDM syariah dengan jumlah dan standar yang dibutuhkan pasar syariah dalam negeri. “Pemerintah harusnya lebih tanggap dan peka soal ini,” tandasnya.

Menanggapi itu, Direktur Utama PT Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) Benny Witjaksono mengatakan sulit bila industri harus terlibat intens dalam mencetak SDM Syariah secara langsung. Menurutnya, meski masih dimungkinkan memberikan pelatihan sebagai kegiatan praktik tambahan atas pengajaran di bangku pendidikan, namun orientasi SDM belum tentu seragam.

“Kalau kami memberi pengajaran tambahan di luar jam pengajaran resmi kampus, kami harap mereka nanti mendukung kinerja usaha kami. Cuma masalahnya, apakah mereka mau. Belum tentu mereka dididik, nantinya bekerja dengan kami. Itu kan cost,” ujarnya.

Kendati begitu, diakui Benny, industri sangat membutuhkan SDM Syariah yang memiliki paduan kapasitas keuangan dan perbankan konvensional dan syariah. Ini diperlukan seiring kinerja bisnis industri syariah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, industri syariah membutuhkan cukup banyak SDM tersebut.

“Mungkin kalau untuk mengatasi problem itu, kami masih akan mengandalkan pengajaran bagi yang sudah direkrut dan pasti bekerja untuk kita. Kami rasa itu lumayan efektif menutup kebutuhan,” katanya.

Kepala Penelitian Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Dhani Gunawan Idhat mengakui, salah satu tantangan industri keuangan dan perbankan syariah saat ini dan mendatang adalah belum bertemunya kualitas SDM Syariah lulusan perguruan tinggi domestik dengan kualifikasi yang dibutuhkan industri. Menurutnya, kualitas SDM syariah lulusan berbagai perguruan tinggi dalam negeri cenderung memiliki kelemahan di sisi aplikatif, meski unggul secara teoretik.

“Di Indonesia tak kurang dari 52 universitas yang menyediakan konsentrasi ekonomi dan perbankan syariah. Sayangnya terlalu umum, sehingga lulusannya tidak terserap dengan baik. Karena lulusannya tidak faham benar dengan teknik operasional,” uajranya.

Berbeda dengan Indonesia, Malasyia yang memiliki 7 dari 50-an universitas yang secara khusus menawarkan SDM berbasis syariah, ternyata standar siap pakainya jauh di atas rata-rata SDM Syariah perguruan tinggi dalam negeri. Pasalnya, pengajaran di Malaysia lebih banyak ditekankan pada teknis pengumpulan dana, penyalurannya, asset and liability management sehingga pada saat kerja mereka mudah teraplikasikan. “Mohon maaf, kalau di Indonesia, ini lebih banyak ditekankan pada aspek fikihnya saja, ayat-ayatnya, hadistnya,” ucapnya.

BI, tutur Dhani, tentu tak akan membiarkan ini terus terjadi. Menurutnya, pihaknya berniat untuk menginformasikan risetnya tentang gap SDM Syariah dan kebutuhan industri keuangan dan perbankan syariah kepada perguruan tinggi. Dengan begitu, diharapkan dunia pendidikan bisa merumuskan kurikulum yang lebih efektif dalam mendorong serapan tenaga kerja lulusannya.

“Itu rencananya akan kita sampaikan ke dunia pendidikan. Sebab kami juga percaya, kalau universitas berbenah dari teoretis ke aplikatif, itu akan cepat menghasilkan SDM keuangan syariah yang terpakai. Sebab kita ini kekurangan SDM syariah. Sebab itu, banyak misalnya kasus-kasus pembajakan SDM bank syariah di dalam negeri,” paparnya.

Direktur Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank (IRTI IDB) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, fihaknya siap memfasilitasi pengembangan SDM syariah yang dibutuhkan industri keuangan syariah Indonesia. Sebagai divisi IDB yang bertugas mendorong pengembangan SDM Syariah, IRTI IDB tertarik memfasilitasi pengembangan SDM ini.

“SDM Perbankan Syariah Indonesia sangat lemah sekali dan harus disempurnakan, apalagi jika melihat dari inovasi produk yang dikembangkan oleh perbankan syariah Indonesia sangat minim sekali. Padahal banyak sekali skim yang bisa dikembangkan dalam inovasi produk di perbankan syariah, dengan keterbatasan SDM yang ada selama ini, membuat beberapa skim tersebut tak bisa dikembangkan oleh para banker syariah,” ujarnya.